Sayang kalian semua ♡(˃͈ દ ˂͈ ༶ )
Happy shopping, eh reading
_________Garin berdiri di samping atasannya, menunggu dengan tenang hingga ia dipersilakan pergi jika laki-laki itu selesai mengecek berkas yang ia bawa.
"Bagian ini diilangin aja, Rin," kata Janu menunjuk bagian yang ia maksud, "setelah itu sudah bisa kamu copy."
Janu menyodorkan berkas itu kepada sang asisten lalu kembali pada layar laptop.
Garin masih diam di tempatnya, menatapi pundak tegap, yang sebenarnya cukup akrab dengan tubuhnya, namun akan terasa begitu asing saat jam kerja. Ada sesuatu yang ingin ia katakan pada Janu, namun begitu sulit bibir itu untuk bertutur. Ada pergulatan batin yang membuatnya jadi berat. Antara rela tak rela rasanya ia terikat.
Janu menoleh, berkerut alis ia tampak heran.
"Kenapa?" tanyanya.
Garin menarik napas dalam, coba menyiapkan diri untuk mengutarakan. Janu diam menunggu, justru membuat Garin kian ragu. Tatapan mata itu seolah punya kuasa yang mampu membuat ia gagu. Garin menelan ludah, menunduk, lalu akhirnya menggeleng. Gagal lagi ia utarakan.
Garin masih tak bersuara saat undur diri dan keluar dari ruangan bosnya. Ia menutup pintu lalu menghela napas panjang. Baru juga dua langkah Garin berjalan, seseorang sudah membuat langkahnya kembali berhenti.
"Janu ada, Rin?" tanya seorang wanita memakai gaun kasual warna tosca, "lagi sibuk gak?"
"A-ada," jawab Garin. Walau terbata, namun percayalah ia sudah sangat berusaha. "Lagi agak lumayan ... sih ...."
"Ah, tapi, udah jam makan siang ini kok," sela wanita itu menepuk lengan Garin. "Gak apa 'kan ya," lanjutnya terkikik lalu melewati Garin untuk bisa masuk ke ruangan sang calon suami.
Garin tak berkomentar, belum juga bergerak. Bukan sengaja, namun karena semua yang ada dalam dirinya terasa membeku, sakit, tak rela. Garin menunduk dan menarik napas dalam, suara dalam hatinya berteriak kencang, berkata bahwa cemburu adalah rasa yang lancang.
Garin berhasil melangkah walau berat. Ia kembali ke mejanya untuk melakukan perbaikan seperti yang bosnya perintahkan. Coba mengalihkan perhatian, coba mengabaikan sesak di dadanya.
Janu hanyalah bos-nya. Hal itulah yang terus Garin tekankan pada benaknya. Janu mungkin menidurinya, namun tidak ada hubungan perasaan di antara mereka. Janu terlalu mencintai Gina dan Garin tidak perlu bertanya kenapa. Wanita yang ramah padanya itu memang cantik, baik, dan begitu mudah dicintai. Apa lagi Janu sudah mengenal wanita itu sejak lama, sejak belum bisa bicara.
Janu terlalu mencintainya hingga tak ingin menodai wanita itu dengan luapan berahinya. Entah Janu adalah laki-laki baik atau brengsek. Baik karena menjaga wanita yang ia cintai hingga sejauh ini, atau brengsek karena menjadikan asistennya sebagai pelampiasan hasrat di malam hari. Entah Janu baik atau brengsek, tapi yang jelas Garin tahu satu hal. Dialah yang bodoh karena jatuh cinta pada laki-laki itu.
Napas Garin kembali sesak saat melihat Janu keluar dari ruangannya bersama Gina.
"Saya makan siang dulu, Rin," kata Janu.
"Ya, Pak," jawab Garin mengangguk hormat.
Janu berlalu dan Garin harus memaksakan senyum membalas lambaian tangan Gina berpamitan padanya. Sungguh, kalaupun diri ini laki-laki, ia juga pasti akan jatuh hati pada Gina. Batin Garin.
Garin menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Mungkin harus mengalihkan perhatiannya lagi. Ia bangkit lalu berjalan menuju ruangan ujung, ruang fotocopy. Tak butuh waktu lama untuk sampai dan Garin melakukan pekerjaannya. Dua orang lagi datang sambil menggosip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Secret
RomanceMenjadi simpanan, menjadi selingkuhan, mungkin terlalu muluk-muluk bagi Garin. Ia mencintai sang atasan, namun dianggap tak lebih dari pemuas nafsu yang dibayar setelah digunakan. Digunakan sebagai pelampiasan karena tak ingin menodai tunangannya. "...