Bagian 1

8.1K 268 26
                                    

Senin pagi yang sedikit mendung menyambut seorang remaja di jalannya berangkat ke sekolah. Memang sudah masuki pergantian musim, hingga hampir setiap pagi selalu seperti ini. Lengkap dangan hawa dingin dan kadang juga kabut tipis menemani langkah kaki si gadis menuju halte bis terdekat.

Namanya Hani. Hanya satu kata, tidak ada lanjutannya. Sangat sederhana seperti hidupnya selama ini. Seorang anak tunggal yang terlahir di keluarga biasa saja. Tidak miskin, tidak juga kaya. Hanya keluarga sederhana di lingkungan yang sederhana pula.

Wajahnya juga sama sederhananya, karena gadis remaja ini sedikit berbeda pendapat dengan remaja putri puber pada umumnya mengenai make up. Dia lebih suka dengan bare face-nya dari pada sibuk berdandan setiap kali ingin pergi. Iya, dia tidak begitu perduli soal dandanan. Karena sebenarnya, Hani ini adalah tipe perempuan yang walau tidak skincare, wajah dan kulitnya akan sebagus yang skincare tiap hari.

Hanya butuh 10 menit menunggu di halte, dan bis yang biasa di tumpanginya pun muncul. Hani langsung saja naik. Tidak terlalu penuh hingga Hani bisa duduk di bangku favoritnya, di paling belakang dekat jendela. Kiri atau kanan, sama saja. Hani suka keduanya. Kemudian Hani akan memasang earphone dari ponselnya yang memutar lagu lagu favoritnya. Dan tenggelam dalam alunan nada nada santai dari daftar putarnya.

Bukannya berniat mengabaikan semua orang. Hani memang lebih suka sibuk sendiri. Dia bisa berteman, cukup asik untuk di ajak berteman malah. Hanya saja, pengalaman di bully sejak dini membuatnya cenderung tidak ingin menarik perhatian. Ya, bayangkan saja, 4 tahun di bully semasa SD. Dan hal yang sama terulang lagi selama 3 tahun penuh di masa SMP. Yang sayangnya, dianggap remeh oleh guru bahkan orang tuanya sendiri.

Sebenarnya Hani pernah mencoba mencari teman saat dia SMP dulu, tapi hasilnya tidak begitu baik. Karena sayang sekali, orang yang mem-bully-nya saat SD sekolah dan berada satu kelas juga dengannya selama 3 tahun. Alhasil, pembullyan yang di alaminya juga kembali berlanjut hingga lulus.

Oleh karenanya, Hani yang sudah muak memilih malanjutkan sekolahnya ke sekolah yang kurang di minati oleh manusia berkromosom X. Hani masuk sekolah yang di dominasi oleh murid laki laki. Bekas sekolah khusus laki laki yang kini mengijinkan murid wanita sekolah juga di sana. Sekolah teknik terbaik di kotanya dengan populasi murid perempuan di sana hanya beberapa persen saja jika di bandingkan dengan murid laki laki. Hani memilih bersekolah di sekolah yang tidak ada si pembully itu dan komplotannya. Entahlah, mungkin terlalu asik merundung Hani sampai nilai pelajaran mereka jauh sekali dari kata baik.

Terserah, Hani tidak perduli.

"Pagi, Pak!" Hani menyapa pada salah satu guru kesiswaan yang selalu menyambut semua murid di depan gerbang bersama satpam dan kadang kadang salah satu gurunya juga ada di sana. Apalagi, tugas mereka tentunya berkaitan dengan barisan siswa laki laki yang berdiri mepet ke pos satpam. Mereka yang melupakan kelengkapan sekolah atau apapun pelanggaran yang sengaja mereka lakukan.

Hani harus lewat di depan mereka, karena gerbang sekolah terbuka lebar untuk anak anak yang membawa kendaraan, jadi sekolah membuka gerbang kecil tepat di sebelah pos satpam untuk siswa siswi yang tidak membawa kendaraan. Hani hanya melihat sekilas, lalu tersenyum kecil saat melihat salah satu teman sekelasnya masuk dalam barisan itu, tengah memberikannya wajah menangis yang dibuat buat.

Di kelasnya sudah ramai saat dia masuk. Lisa, murid yang di anggap paling cantik seangkatan, yang kebetulan duduknya tepat di depan Hani selalu mengundang perhatian. Semua kurid perempuan di kelas Hani, yang hanya ada 5 orang termasuk Hani, selalu berkumpul di sekitar mejanya. Hingga Hani mau tak mau harus banyak bilang permisi walau hanya ingin duduk di tempatnya sendiri.

Tidak, Lisa bukan pembully walaupun dia populer di seluruh sekolah. Tidak ada yang membully Hani juga selama 2 tahun belajar di sekolah teknik ini. Hani berteman dengan semua orang. Hanya saja, tidak ada yang cukup dekat untuk di sebutnya sahabat. Semuanya sama, hanya teman. Bersikap ramah dan lain sebagainya. Tapi untuk seseorang yang bisa di jadikan tempat curhatnya atau yang benar-benar mengenal sifatnya, Hani tidak membiarkan seorangpun melewati garis yang telah dibuatnya.

ComfyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang