Bagian 10

1.2K 132 15
                                    

Sudah ramai di sana, makanya Hani langsung menarik Hyunju mengantre seperti yang lainnya. Makanan di kafetaria kampus ini terkenal enak dan Hani takut kehabisan kalau tidak cepat masuk barisan. Setelah mereka mendapat senampan penuh makan siang, keduanya duduk. Tidak bisa memilih meja karena hampir semua bangku terisi. Untungnya di bagian tengah, ada meja kosong yang baru saja selesai digunakan.

Hani membuka kotak susu kecil yang di dapatnya, meminumnya sedikit, lalu menyuap sepotong kaki gurita pedas dari nampannya. Begitupun dengan Hyunju yang mulai makan dengan tenang. Sampai tak lama kemudian Hani melihat Ian memasuki kafetaria, mengedarkan pandangannya hingga Hani melambaikan tangan.

Ian yang melihatnya membuka mulut lalu memberikan gestur sedang melahap sesuatu dengan kedua tangan. Hani yang paham, langsung mengangkat nampan makan siangnya. Ian mengangguk, lalu masuk antrian untuk mengambil makan siangnya.

"Lo akrab gitu ya sama kak Christian? Sampai pelukan di koridor," tanya Hyunju yang lagi lagi sejak tadi memperhatikan tingkah Hani dan Ian.

"Hmm.. nggak akrab. Waktu SMA cuma sempet beneran ngobrol 3 kali. Itupun yang dua isinya malah berantem." Hani melihat teman barunya ini mengernyit tidak mengerti jadi Hani kembali menjelaskan. "Jadi dulu itu Ian sempet mau deketin gue, baru mau mulai sih. Tapi udah gue potong duluan. Gue minta dia berhenti. Gue tolak tuh sampai 3 kali padahal cuma baru mau pendekatan."

"Kok bisa lo nolak orang kaya dia? Dia boyfriend material benget kan Han. Dan gue yakin dulu juga gitu."

Hani tertawa. "Iya, sih.. dari dulu Christian Yu dan kepopuleran itu udah segaris jalannya. Tapi ada sesuatu di kita, posisi kita nggak tepat buat mulai sesuatu waktu itu. Ian sama ujian akhirnya yang tinggal beberapa bulan lagi. Terus gue, perlu dokter buat ngatasin mental gue."

"Gimana, gimana? Mental gimana maksudnya?"

"Gue hampir kena anxiety. Terus juga ada krisis kepercayaan diri. Di tambah trauma gegara di bully sama satu orang dari gue SD sampai SMP. Dulu tuh ada yang liatin aja rasanya nggak nyaman banget, kaya mereka lagi menghakimi aja tatapannya. Nggak nyaman lah. Untungnya Ian ngotot waktu itu, yang bikin gue sadar kalau gue emang butuh dokter. Ya gitu akhirnya, gue ke dokter. Tapi gue ngga mau Ian ada di sekitar gue, atau sampai nemuin gue. Dia udah sibuk mikirin ujiannya dan gue nggak mau dia tambah stres cuma karena ikutan mikirin perkembangan kondisi mental gue."

Hyunju mengangguk mendengar penjelasan panjang dari Hani. Dia paham situasinya sekarang.

"Lo nggak papa kan, punya temen bekasan punya mental illness?"

"Ih, apaan sih lo! Ya nggak papa lah! Lagian semua orang punya masa lalu, nggak semuanya juga harus selalu bersih."

Hani senyum senang dengan kalimat Hyunju barusan. Sepertinya meski punya wajah bayi yang awet di sana, Hyunju merupakan orang yang punya pikiran terbuka. Hani suka itu dan sepertinya mereka akan jadi teman baik semasa kuliah ini.

"Bawa temennya? Kirain bakal berdua aku doang." Celetuk Ian yang langsung duduk di depan Hani. Karena kebetulan Hani dan Hyunju duduk bersebelahan di seberang Ian.

"Iya, kan cuma makan siang aja. Lagian Hyunju nggak ada yang ngajak makan. Kasian jomblo." Hani cekikikan mendapat sebuah pelototan dari Hyunju.

"Mau gue kenalin ke temen gue lo?" Ian bicara pada Hyunju, berniat menolong teman gadisnya yang sedang tak punya pasangan.

"Eh, enggak kak. Nggak usah. Hani ngawur aja itu ih!" Tolak Hyunju gelagapan yang ditanggapi Ian dengan kedikan bahu. "Jan sembarangan ngapa kalau ngomong, Hani bunny! Gue udah ada pacar ya, cuma beda fakultas aja!"

Hani membuat huruf O dengan bibirnya. Lalu kembali makan makanannya. Tapi decakan Ian mengalihkan pandangannya. "Kenapa?" Tanyanya kemudian.

"Ada guritanya. Geli!"

ComfyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang