Hani bisa bernafas lagi setelah Ian meninggalkannya untuk memulai penyelesaian tatonya. Ya, Hani jelas tidak baik baik saja. Gadis normal mana yang akan bisa bernafas normal dengan jantung yang berdetak stabil serta pipi yang tidak merona seketika saat di hadapkan pada situasi seperti barusan? Jawabannya tentu tidak ada. Apalagi posisi mereka saat ini sedang, bisa dibilang, kencan. Semuanya tersetting 'romantis' hanya dengan kata itu sebagai predikat perginya mereka kali ini.
Hani menghela nafasnya. Melihat punggung lebar dan kokoh Ian di depan sana, sedang berbicara dengan tato artist sambil menggoyangkan badannya dengan absurd mengikuti irama musik yang di putar pelan di studio ini. Hani mulai berpikir bahwa Ian sedang sangat sengaja menggodanya. Dengan cepat Hani membuang muka, memilih melihat lampu pajangan di nakas yang ada di sebelahnya setelah bokongnya menghenpas sofa.
Ya, tak bertahan lama. Ian yang kini tengah berbaring dengan tato artist itu sedang membersihkan kulitnya, menarik perhatian Hani kembali. Penasaran saja, dengan tubuh penuh otot yang keras seperti Ian, apakan saat di tato nanti masih akan terasa sakit. Dan tak lama, Hani meringis. Pasalnya Ian juga melakukannya untuk menahan sakit saat jarum tato mulai menghujam kukitnya berkali-kali.
Hani menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak bertanya apa apa. Karena mungkin saja Ian akan terganggu dan akan lebih merasakan sakit. Dia meraih kaos hitam Ian yang tergeletak sembarangan di sampingnya duduk. Memilih untuk melipatnya dengan rapi untuk mengalihkan perhatiannya sementara waktu. Hani melipat jaket Ian juga, menumpuknya dengan kaos Ian yang tadi.
Baru saja Hani menyandarkan punggungnya ke sofa dengan nyaman, ponselnya berdering. Dia mengambilnya dari kantung pull over, ya karena Hani tidak membawa tas apapun. Hanya ponsel dan dompet yang muat di dalam saku pull over-nya. Hani melihat ke arah jam dinding bundar yang menempel di belakang Ian berbaring. Pantas saja mamanya menelepon, jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih. Hampir jam empat.
"Iya, ma?" Sapa Hani begitu ponselnya menempel di telinga. Di seberang sana, sepertinya mama sedang tidak di rumah. Ada suara ribut banyak orang sedang bicara ikut terdengar.
"Dimana, dek? Belum pulang?"
"Hmm.. kayanya nanti pulang agak malem, ma. Mau ke Hongdae, jajan street food." Jawab Hani sambil lihat Ian yang juga tengah menatapnya. Mungkin juga mendengarkan apa yang dia ucapkan.
"Jangan malem malem banget loh ya." Mama Hani mewanti-wanti. Anak gadisnya tidak boleh pulang larut apalagi ini ketahuan perginya di jemput cowo dari pagi. "Terus sekarang dimana?"
"Lagi di studio tato, nemenin Christian."
"Christian bikin tato?"
Mampus! Hani menutup mata dan mulutnya rapat. Dia keceplosan, hingga menepuk mulutnya sendiri berkali kali. Mama dan papanya tidak tahu Ian punya tato apalagi predikat anak nakal di sekolah. Dia tidak pernah bilang apapun. Bagaimana kalau orangtuanya lalu melarang Hani berteman dengan Ian setelah tahu itu semua?
Tunggu dulu! Kenapa Hani memikirkan kemungkinan itu sekarang?
"Dek?" Suara mamanya kembali terdengar di ponsel Hani setelah cukup lama putrinya tak menyahut pertanyaannya.
Duh, bodo amat lah!
"Iya, ma. Tinggal finishing. Terus minta Hani temenin."
"Hmm.. ya udah, ya. Nanti pulangnya hati hati. Bilangin Christian jangan ngebut. Anak gadis mama satu satunya yang di boncengin tuh. Ya udah, mama tutup ya." Dan sambung bterputus setelahnya.
"Kenapa?"
Hani mendongak dan menemukan Ian berjalan ke arahnya. Sepertinya sudah selesai. Kulitnya banyak memerah di sekitar tato yang baru saja ditambahkan. "Mama telepon." Sahut Hani singkat sambil bersandar lemas di sofa.