Bagian 31

754 59 10
                                    

Jadi disinilah Hani, duduk di sebuah cafe yang kebetulan tak jauh dari studio foto Ian dulu. Dimana ian? Dia berada di mobil di seberang jalan di depan cafe ini. Mungkin masih menggerutu karena Hani benar benar tidak mengijinkannya ikut turun. Tadi saja pria itu baru mengijinkan Hani keluar dari mobil setelah cukup lama berdebat dengannya. Dia hanya khawatir, Hani paham. Tapi seperti yang di ucapkan kemarin, dia sungguh harus menemui Emily sendiri.

Yang walau sudah 15 menit keduanya duduk di salah satu bangku yang ada di cafe itu, Hani tak melihat Emily berniat memulai pembicaraan. Di situasi ini, Hani akan menunggu. Mungkin Emily perlu persiapan lain, entahlah..

"Hani.."

Hani mendongak dari minuman yang tengah di aduknya dari tadi. Ia rasa Emily siap menilai.

"Gimana kabar lo?" Sambungnya setelah itu. "Kayanya baik baik aja ya? Gue liat juga lo udah sukses sekarang."

Hani nampak terkejut dengan pernyataan Emily. Jadi yang dia miliki sekarang termasuk dalam kategori sukses bagi Emily? Baiklah. "Gue bersyukur sama apa yang gue punya sekarang. Lo gimana? Baik baik aja kan?"

Oh Hani tidak perduli kalau rasa canggungnya terlihat dengan jelas saat ini. Dia tidak berniat menyembunyikan apapun. Dia akan gamblang saja pada Emily soal apapun yang nantinya akan dia tanyakan atau katakan.

"Kaya yang lo liat. Gue baik, gua kerja di restoran yang tempo hari lo datengi sama anak anak DPR. Gue juga jadi supir pengganti. Kurir susu kadang." Emily terkekeh jengah, lalu menatap Hani dengan sinis. "Puas kan lo liat gue sekarang?"

Hani mengangkat alisnya lalu terkekeh tak kalah jengah. Matanya menatap lurus kepada lawan bicaranya. "Lo ngajak gue ke sini cuma mau lanjutin apa yang udah pernah lo lakuin dulu ke gue? Bisa berhenti ngga? Berhenti limpahin semua hal buruk yang terjadi sama lo ke gue. Gue ngga ada sangkut pautnya sama semua itu. Asal lo inget aja, itu semua lo sendiri yang buat."

Hani menggeleng heran. "Gue pikir lo udah sadar, udah tau seberapa jahat perbuatan lo dulu ke gue. Lo bahkan udah tau gue konsul psikiater gara gara lo. Gue udah baik baik aja. Dan lo dateng ke gua sekarang. Ngajak ketemu dengan dalih mau ngobrol sama temen lama. But look at yourself now. Lo masih mau salahin gue atas semua masalah hidup lo saat ini. Hebat ya lo."

Hani menyandarkan punggungnya pada kursinya, melipat tangan di dada untuk meremat lengannya sendiri. Menyembunyikan gemetaran di tangannya saat ini. Ayolah, butuh keberanian besar untuk bisa mengatakan hal itu kepada Emily. Dia menatap ke samping, kepada apa saja asal bukan Emily yang sekarang tengah mencerna kalimat Hani barusan.

Kenyataan yang di lontarkan Hani sebenarnya menusuk Emily paling dalam. Hani benar. Dia telah jadi monster bagi gadis ceria teman sebangkunya dulu. Dialah yang menyebabkan semua masalah yang di alami Hani saat itu. Seharusnya dia minta maaf dengan tulus, seperti rencananya sebelumnya. Tapi mengingat bagaimana kehidupan Hani sekarang jauh lebih baik darinya, membuat rasa irinya kembali muncul.

Emily tahu itu bukan sesuatu yang baik. Tapi itu terjadi begitu saja. Dan dia akan menyesalinya kemudian. Seperti yang dia lakukan dulu. Dia berbuat buruk pada Hani lalu menyesalinya kemudian. Yang sayangnya penyesalan itu tidak pernah bertahan lama hingga hal seperti itu terus terulang.

"Mungkin.." cicit Emily yang masih tertunduk menatap lututnya sendiri. "Mungkin aku lah yang lebih membutuhkan psikiater."

"If you think you need it, go seek help." Sahut Hani tanpa pikir panjang. Seperti yang di ucapkan Ian dulu, pergi konsultasi ke psikiater bukan berarti kita adalah orang gila.

Emily mendongak, menatap Hani lekat. "Han, gue minta maaf. Gue tulus minta maaf, bukan lo yang bermasalah kaya yang sering gue bilang dulu. Bukan. Justru gue yang bermasalah. Gue yang hidupnya ngga bener. Gua minta maaf, Han. Gue udah nyakitin lo, gue udah jahat banget ke lo. Maaf gue udah jadi monster jahat buat lo. Gue.. gue.."

ComfyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang