Pukul 7.15 malam Hani melangkah keluar dari studio foto. Melelahkan, didandani berulang kali di foto puluhan kali. Mata Hani sedikit perih, kering akibat terlalu lama berada di bawah sorotan lampu. Karenanya dia mengambil obat tetes mata dari dalam tasnya, hendak menggunakannya tapi klakson mobil yang terparkir di depan gedung mengejutkannya.
Mobil hitam berotot yang mengantarkannya tadi siang dengan Ian mengintip dari kacanya yang terbuka. Hani cepat masuk ke kursi penumpang di samping Ian yang pintunya tadi sudah di buka lebih dulu olehnya tanpa repot turun dari mobil.
"Kering?" Tanya Ian memperhatikan Hani yang sedang meneteskan obat tetes matanya tadi.
Hani hanya berguman sambil mengerjap-ngerjapkan matanya guna meratakan cairan itu di seluruh matanya. "Sepet juga kaya orang ngantuk."
Gantian Ian yang bergumam. Kemudian mencondongkan badannya ke arah Hani. Membuat si perempuan menempelkan punggungnya rapat dengan sandaran kursi tempatnya duduk. Hani tidak menaruh curiga, apalagi bersikap berlebihan dengan memejamkan mata takut takut Ian berbuat sesuatu padanya. Tidak, Ian tidak akan melakukan hal aneh kecuali memasangkan sabuk pengamannya. Lagian, ini bukan drama atau cerita romantis lainnya. Ian memang biasa seperti ini, Hani sudah hafal di luar kepala.
Kemudian mobil melaju membelah jalanan yang sore itu lumayan padat. Keduanya saling diam, tidak ada percakapan seolah kemacetan di luar sana lebih menarik untuk di saksikan daripada memulai sebuah obrolan. Kecuali, Ian menghentikan mobilnya di lampu merah pertama, satu tangan Ian meraih milik Hani. Menggenggam lembut jari jari yang nampak mungil jika di bandingkan dengan telapak tangannya. Dia menariknya tanpa mengalihkan tatapannya dari jalanan di depan. Mencium punggung tangan Hani yang tengah di genggamnya beberapa saat sebelum meletakkan tangan yang bertautan itu di atas pahanya.
"Ian.." Hani bergumam lirih. Memandangi setiap gerakan yang Ian buat di sampingnya. Bertanya dalam hati kenapa pria ini harus bersikap seperti ini sekarang.
"Hm, kenapa?" Ian tidak melepaskan tangan Hani, juga tidak menatap Hani saat kalimat ini terucap. Hanya fokus melihat ke depan saat mobil kembali berjalan. Seolah hal yang dia lakukan ini adalah hal biasa.
Well, menggenggam tangan Hani memang hal biasa bagi Ian. Dulu keduanya sering melakukannya. Tapi sekarang, menggenggam tangan Hani adalah hal yang aneh. Seperti sesuatu yang tabu mengingat Ian sekarang sudah memiliki kekasih.
Hani tidak enak hati. Niatnya untuk menjadi penunggu yang baik masih ada dan tidak goyah. Tapi dirinya juga tidak bisa memungkiri bahwa Hani merindukan perlakuan kecil Ian yang ini kepadanya. Rasanya seperti memakan coklat dalam jumlah banyak, manis dan menyenangkan. Tapi selanjutnya Hani akan merasakan mengalami kecemasan dan detak jantung tak beraturan. Otaknya tetap logis dengan menganggap semua ini tidak benar untuk di lakukan.
"Gue nggak mau jadi selingkuhan lo." Hani menatap Ian, mengamati akan bagaimana reaksinya setelah mendengar ucapannya. Hani sedang berharap Ian mengerti, dan tidak main main dengannya di belakang Jessica. Hani hanya tidak paham, kenapa Ian justru malah tertawa kecil karena ucapannya barusan. Membuat Hani kembali menjelaskan maksudnya.
"Gue bakal nungguin lo. Sekarang juga gue masih nungguin. Tapi tolong, jangan pancing gue buat rusak hubungan lo sama Jessica. Gue nggak serendah itu."
Tak menggubris kalimat Hani, Ian memilih melepaskan genggaman tangannya. Kedua tangan itu kini memegangi kemudi, hendak memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran barbeque Korea yang lumayan ramai terlihat dari kaca etalasenya. Barulah saat mobil berhenti sempurna, Ian menggeser posisi duduknya menghadap Hani. Satu tangannya terjulur, bertumpu pada sandaran kursi tempat Hani duduk.
"Yang selingkuh siapa sih? Gue sama lo? Babe, we did nothing wrong. Dan iya, lo bener. Lo nggak serendah itu buat rusak hubungan orang lain. Jadi nggak perlu khawatir."