Pagi harinya, Hani memutuskan memposting balkon kecil kamarnya setelah selesai sarapan. Mama dan Papa sudah berangkat ke tempat kerja masing-masing. Dan kini Hani tengah duduk di balkon kamarnya, membaca komen komen yang ada di bawah postingannya sambil sesekali membalas beberapa di antaranya. Juga membalas DM dari Dabin soal kapan dia ingin di jemput. Katanya nanti mereka akan berkumpul di apartemen Ian. Apartemen baru Ian yang baru di tempatinya selama 3 minggu terakhir.
Hani iya-iya saja dengan usulan Dabin. Tak masalah, toh Hani tidak bisa menghindar dari hal ini. Ian teman Dabin, founder DPR dimana Dabin, Scott dan Cream berada. Lagipula, Hani juga membelikan Ian oleh oleh. Semoga saja selera pria itu tidak berubah selama dua tahun ini.
Maka sebelum makan siang, Dabin membunyikan klakson di depan pagar rumah baru Hani. Berbekal share location yang sebelumnya Hani kirimkan, rapper berbakat Dream Perfect Regime itu sampai di rumah Hani kira kira 30 menit kemudian. Dengan sedikit berlari Hani membukakan pagar untuk Dabin bisa masuk dengan Jeep Wrangler yang sepertinya Hani tahu siapa pemiliknya. Memang sudah beda model tapi, Hani kenal seseorang yang hobi dengan kendaraan berotot seperti ini.
"Nyasar nggak?" Hani bertanya saat Dabin berusaha turun dari Jeep besar itu.
"Tadi sempet salah belok sekali," sahut Dabin lalu mendekati Hani agar dia bisa memeluk makhluk cantik itu dengan erat. "Gendutan ya lo?"
Hani mencibir. "Mana ada! Baru ketemu setelah 2 tahun, jangan ngajak ribut deh ya.."
Dabin tertawa. Mengalihkan topik dengan bertanya soal orang tua Hani dan rumah baru ini. Dabin memang belum pernah bertamu ke rumah Hani yang lama dan cukup takjub melihat ada lapangan basket kecil di sebelah garasi.
"Gue dulu suka basket. Lo nggak tau ya, kalau nggak ada Hanbin, gue yang di tarik Bobby buat jadi partnernya. Dulu pas jaman sekolah," tutur Hani dengan wajah bangga. Sombong sedikit tidak masalah kan?
"Gue nggak kenal Bobby sama Hanbin, cuma mau nanya aja, emang sekarang masih inget cara main basket?"
Bibir Hani melengkung dramatis ke bawah. "Ngejek mulu ih dari tadi! Berangkat aja deh ayok!"
"Ih, noona mah ambekan!" Dabin mencibir sebagai tanda protes. "Ya udah apaan yang mau di bawa? Katanya tadi mau bagi oleh olehnya kan? Banyak nggak? Sini gue bawain."
Hani menolak bantuan Dabin karena memang oleh oleh yang di maksud Hani hanya sebuah paper bag besar yang sekarang sedang diambilnya di meja ngopi Papanya. Dimana ada tas selempang mendampinginya di atas meja bulat di sana.
"Lo nggak papa kan ketemu Ian?" Mereka baru saja memasuki jalan utama saat Dabin membuka suara. Dia hanya khawatir suasana akan jadi canggung dan membuat semua orang mati kutu.
"Nggak papa kok. Gue udah nggak papa. Bukan berarti gue nyerah ya Bin," susul Hani saat melihat Dabin bersikap seolah hendak mengomelinya. "Gue masih nunggu. Dan gue lagi ngikutin saran lo buat jadi penunggu yang baik. Kalau jodoh nggak bakal kemana, kan kata orang bijak gitu."
"Bagus deh." Dabin menginjak rem saat lampu merah menyala. "Gue sama yang lain udah bilang ke dia soal apa yang terjadi sama lo selama 2 minggu nggak bisa di hubungin itu. Scott sampai nelpon roommate lo buat jelasin situasinya waktu itu. Tapi kayanya nggak pengaruh banyak karena sampai sekarang Jessica masih ngintilin Mas Bos kemana mana. Ngomong ngomong, Sam cerita ke lo nggak soal dia ngobrol sama Ian?"
Hani menggeleng. "Udahlah, nggak papa. Kita liat aja ini semua bakal gimana. Gue cuma bisa mastiin satu hal aja sih. Perasaan gue ke Ian masih sama sejak dulu. Tinggal gimana Iannya aja. Kecuali dia maunya emang sama Jessica dan minta gue nggak ngarepin dia lagi. Gue bakal berhenti."