Bagian 24

827 81 24
                                    

Iya, ini Christian Yu. Dia tidak butuh persetujuan untuk apa yang sudah menjadi miliknya. Termasuk memeluk Hani. Segera setelah kalimat itu terucap, Ian menghampiri Hani. Melingkarkan kedua lengannya pada punggung dan pinggang gadis itu. Mengunci kedua tangan Hani sekalian di sana. Menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher si gadis. Menghirup semuanya dengan rakus. Setiap detiknya yang terlewat, mengeratkan pelukannya. Berusaha mengurai rindu yang selama ini menggunung terbengkalai layaknya sampah. Meluluhkan Hani hingga tak ada hal lain yang masuk akal di otaknya selain ikut mengeratkan lengannya di punggung kokoh Ian.

Semuanya sama. Hani masih Hani-nya Ian. Dan DPR Ian masih Christian Yu yang sama di ingatan Hani. Wanginya, tubuhnya, rasa nyaman setiap kali keduanya bersentuhan, rasa aman setiap kali keduanya berdekatan. Bahagia yang tak bisa di gambarkan hanya dengan merasakan satu sama lain di sekitar.

Hani tak kuasa menahan genangan air mata yang mulai mengumpul di pelupuk matanya. Sesuatu.. rasa lega? Entahlah.. sesuatu itu mendorong air mata Hani untuk keluar. Terisak tanpa suara, bergetar tanda tak sanggup lagi membendung derasnya air mata.

Ian menyadari hal itu. Pria itu mengurai peluknya, menyisakan kedua tangannya memegang lengan atas Hani. Dia menoleh ke samping, menuntun Hani untuk duduk di tepian ranjang tanpa melepaskan tangannya dari Hani. Memandang wajah cantik belepotan air mata didepannya dengan menyesal, Ian mengucapkan maafnya.

"Maaf, gue yang salah." Ian mengusap air mata di pipi Hani dengan lembut. Memandang pada kedua mata indah itu dalam. "Harusnya gue nunggu lo dan bukannya ngambil kesimpulan sepihak. Semuanya nggak akan jadi rumit kalau gue bisa tahan emosi gue. Aku minta maaf, Hani. Udah rusak kepercayaan kamu. Udah khianatin kamu. Nggak bisa jaga hati gue."

Hani menggeleng. "Bukan salah lo. Gue yang nggak bisa jaga komunikasi. Gue yang ninggalin lo demi kerjaan. Gue lupa, kalau LDR, yang paling utama selain rasa saling percaya itu adalah komunikasi. Christian Yu nggak sepenuhnya salah."

"Harusnya gue nggak kemakan omongannya Jessica."

Air mata Hani kembali jatuh. Kalimat Ian menyadarkannya akan posisinya kini. Hani tidak boleh begini seharusnya. Ada hati yang harus di jaga di luar ruangan ini, hatinya Jessica.

"Berhenti nangis. Muka lo jelek banget kaya beruk." Ian berucap, berusaha menghibur Hani dari tangisnya. Ian tidak suka melihat Hani menangis. Bodoh sekali dirinya, karena menjadi alasan air mata itu jatuh setelah sekian lama.

Manjur. Hani terkekeh kecil setelahnya. Campuran antara kesal dan lucu karena ucapan Ian. Hani mengusap kasar air matanya. Berusaha menghentikan tangisannya sebelum suasana terlanjur canggung. "Kita nggak seharusnya kaya gini di sini. Di depan pacar lo. Kak Jess pasti marah sekarang."

Ian menggeleng. Bisa bisanya gadis di depannya ini masih memikirkan perasaan orang lain di saat dirinya sendiri sedang perlu di perhatikan. Karenanya Ian merengkuh wajah Hani dengan kedua tangannya. Saling mengunci tatapan masing-masing dengan dua cara berbeda. Ian dengan tatapan teduhnya yang memuja. Hani dengan tatapan khawatir yang terbagi tanya.

"Jessica nggak bakal kenapa napa. Yang penting itu kamu. Kamu berhenti nangis. Dan kamu tahu kalau aku menyesal. Aku nggak bakal ulangin lagi."

Respon alami, begitu saja di lakukan kepalanya. Mengangguk dua kali tanda mengerti, sekaligus memegang janji Ian di benaknya. Lupa lagi akan posisinya di mata Ian dan Jessica. Mudah sekali Christian Yu membuat Hani lupa akan sesuatu.

"Aku udah maafin kamu. Kalau nggak, aku nggak bakalan sanggup ketemu kamu."

Ian melebarkan senyumnya. Tangannya bergerak menarik Hani sekali lagi ke dalam pelukannya. "Jangan nolak, gue kangen," gumam Ian saat merasakan Hani mulai mendorongnya menjauh. Ian tidak mau. Pria itu masih terlalu rindu akan miliknya.

ComfyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang