Keesokan paginya, Hani sudah bersiap untuk pergi saat Papanya masih menikmati kopi di depan TV di apartemen studionya. Papanya sengaja mengambil cuti 1 hari dari kantor untuk bisa menghadiri wisuda kemarin. Istirahat hari ini di hari Sabtu dan mengantar Hani besok pagi.
"Mau ketempat Christian?" Tembak Papanya langsung saat melihat putrinya sudah cantik walaupun hanya memakai denim dan t-shirt monochrome.
"Iya, Hani belum bilang apa apa ke Ian. Semoga dia nggak ngambek di kasih tau dadakan," sahut Hani mengambil sepatu dari rak didepan pintu. "Mama sama Papa nggak papa kan Hani tinggal. Kayanya bakal seharian. Sekalian pamitan sama yang lain."
"Nggak papa, dek. Nanti Mama beresin barang barang yang belum masuk ke kardus."
Hani bergumam. Memang setelah ini Hani tidak akan tinggal di sini lagi jadi semua barang akan di angkut. Di bawa pulang ke rumah orangtuanya atau di jual ke toko barang bekas karena tidak mungkin menyimpan semuanya di rumah.
Setelah berpamitan Hani pun berangkat. Dia berjalan ke arah halte bus, menunggu di sana beberapa saat sebelum bus yang akan membawanya ke apartemen Christian datang. Sekitar 30 menit perjalanan dan Hani sampai di lingkungan gedung tempat tinggal Ian. Sedikit berjalan kaki dari halte untuk bisa benar benar sampai di gedungnya.
Hani langsung masuk lift, memencet angka 16 di papan yang tersedia lalu menunggu hingga pintu lift kembali terbuka di lantai yang Hani tuju. Tak banyak pengguna lift naik pagi ini. Mungkin karena penghuni apartemen lebih banyak menggunakan lift turun di jam berangkat kerja seperti ini walaupun kenyataannya hari ini adalah akhir pekan.
Hani melangkah keluar begitu pintu lift terbuka di lantai tujuannya. Hanya ada dua pintu di lantai ini, 1601 dan 1602. Dengan pasti Hani berjalan ke kiri, ke unit apartemen nomor 1602. Lalu Hani memasukkan angka yang menjadi kunci pintu apartemen itu dengan sekali percobaan seolah ia sudah biasa kesini.
Yah, Hani memang sering ke sini. Terbukti dengan Ian memberinya akses masuk secara bebas ke apartemennya. Di tambah dengan Lori yang menyambutnya begitu masuk ke dalam. Anjing kecil itu menggonggong riang dengan ekor yang tek berhenti mengibas senang. Membuat Hani tertawa gemas dengan tingkah anjing pemilik rumah.
"Hey, baby girl!" Tidak tahan, Hani berjongkok untuk mengusak leher Lori dengan jari jari di kedua tangannya. Tapi Lori yang melompat ke gendongannya membuat tawa Hani kembali terdengar renyah. Apalagi saat anjing itu menjilati wajahnya berkali kali.
"Kangen ya? Wanna some kiss, hm?" Hani gantian menciumi Lori bertubi-tubi seperti yang Ian lakukan kadang saat siaran langsung di Instagram. Hani melakukannya sambil melangkah masuk. "Lori, where is daddy? Still asleep, hm? Lets wake him up!"
Masih dengan Lori di gendongannya, Hani membuka salah satu pintu kamar dengan pelan. Membiarkannya terbuka lebar, Hani menemukan sang pemilik rumah masih tertidur pulas di atas ranjangnya dengan berantakan. Well, Ian tidur hanya dengan sebuah celana pendek berbahan katun. Atasannya, seharusnya sebuah t-shirt abu abu, tapi benda itu di campakkan begitu saja di ujung ranjang, di dekat kaki Ian dan hampir jatuh kelantai. Sementara selimutnya sudah tergulung kusut di sebelah badan Ian. Hanya satu kaki pria itu yang masih di tutupi selimut.
Hani menurunkan Lori lalu bergerak untuk berjongkok di samping kasur tepat di depan wajah Ian. Keduanya tangannya terlipat di tepian ranjang menunggu Ian membuka mata saat Lori dengan semangat membangunkan sang pemilik. Menciumi seluruh wajah Daddy-nya tanpa jeda sampai kelopak matanya mulai menggelepar.
"Good morning," sapa Hani berbisik nyaris tanpa suara saat pupil mata Ian fokus menemukan Hani tengah tersenyum cerah di tepian ranjang.
Tangan Ian terulur untuk meraih pipi Hani, membelainya dengan lembut hanya untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ian menepuk tempat kosong di depannya setelah yakin dirinya tidak sedang tidur. Meminta Hani ikut berbaring bersamanya.