Hani baru saja akan masuk ke kamarnya malam itu. Setelah selesai makan malam bersama mama dan papanya yang kini sedang menonton televisi, sebuah acara pencarian bakat. Rapor semesternya sudah di bagikan tadi pagi. Seperti semester kemarin, Hani kembali juara umum. Dan orang tuanya tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya telah di karuniai anak gadis yang pintar seperti Hani.
Untuk Ian, pria itu tidak menemuinya lagi setelah insiden kemarin. Sudah 2 hari sejak kejadian itu dan tidak ada tanda tanda kakak kelasnya akan muncul lagi di hadapan Hani. Bahkan di sekolahpun, kakak kelasnya itu seolah menghilang. Benar-benar tak pernah terlihat sejauh mata Hani memandang. Sedikit kecewa, karena pria itu menyerah begitu cepat. Hani tidak akan berbohong soal itu. Tapi, bukankah itu lebih baik?
Ok, bukan itu masalahnya sekarang. Karena Hani tak jadi masuk ke kamarnya. Dia duduk di salah satu sofa dengan gerakan hantu, tanpa suara. Mengundang perhatian dari mama dan papanya. Ada apa dengan putri kesayangannya mereka yang kali ini tanpak tegang?
"Kenapa dek?" Sang mama bertanya lebih dulu. Sementara sang ayah, masih pura pura menonton tv.
"Anu ma.. Hani kan juara umum lagi kan.. " Hani menatap kesembarang tempat karena kegugupan yang tiba tiba menghampiri. "Tawaran hadiahnya masih berlaku nggak?"
Orang tuanya tertawa serempak. "Masih lah! Jadi minta komputer baru?"
"Bukan itu ma." Hani menatap kedua orang tuanya. "Hani nggak mau komputer baru. Ini soal... Hani butuh ketemu dokter."
Mama dan papa Hani saling pandang. Ada apa dengan putri mereka sebenarnya? Dimata mereka Hani terlihat baik baik saja, makan dengan baik, tidur dengan baik, belajar dengan baik pula. Apa yang salah hingga Hani ingin menemui seorang dokter? Mungkinkah....
"Kamu hamil?" Mamanya memekik tertahan dengan tangan menutup mulutnya. Pikiran spontan yang langsung saja melayang masuk ke otak orang tua saat anak SMA-nya mendadak minta bertemu seorang dokter.
"Ha..?! Bukan ma! Hani nggak hamil. Hani butuh psikiater." Buru buru Hani menjelaskan maksudnya sebelum orang tuanya semakin salah paham. Dia sampai menyerahkan ponselnya, yang sudah masuk kedalam web konsultasi resmi dari lembaga kedokteran yang menjelaskan apa itu serangan panik dan bagaimana jika sudah akut lalu penanganannya.
"Selama ini, Hani pikir Hani baik baik aja ma, pa. Tapi nyatanya enggak. Perlakuan orang itu bertahun tahun ke Hani ninggalin bekas banyak di mental Hani. Hani pikir itu bakal ilang, sembuh dengan sendirinya. Tapi kemarin lusa, Hani kena serangan panik lagi. Emang jaraknya lumayan jauh dari serangan panik yang pertama dulu. Satu setengah tahun. Hani nggak mau itu muncul lagi dan ganggu kehidupan Hani kedepannya. Karenanya, Hani minta dokter buat hadiah kali ini. Aku harap mama sama papa ngerti."
"Sini, dek." Pinta papanya menepuk bagian sofa yang kosong diantara dia dan sang istri. Rautnya khawatir, jadi tanpa pikir panjang Hani menuruti kemauan papanya. Mamanya membelai rambut Hani sementara sang papa langsung merangkul pundak putrinya sayang.
Membaca kemungkinan buruk dari apa yang di tunjukkan Hani tadi sudah membuat mereka tahu seberapa buruknya hal ini jika terlambat ditangani. Mereka yang menganggap remeh dan abai terhadap psikologis Hani selama ini. Apalagi jika dipikir-pikir, Hani memang jarang pergi keluar bersama teman temannya. Hampir tidak pernah. Itu pasti juga sangat sulit bagi putri kesayangan mereka. Mereka merasa bersalah.
"Maafin mama sama papa."
Cuma kalimat itu yang di ucapkan papanya tapi sudah bisa membuat Hani menangis. Bukan sedih, Hani justru bahagia. Dia merasa di dengarkan. Dan berakhir Hani sesenggukan di pelukan mamanya sementara sang papa membuat janji dengan seorang dokter untuk hari Senin lusa.