"Udah, wey! Lu ngemeng kayanya nggak di dengerin Christian juga, Jes!"
Kalimat Hyungmo membuyarkan lamunan Ian. "Mending langsung di arahin buat beberes aja nggak nih?" Sahut Ian.
Lalu semuanya bekerjasama merapikan aula itu hingga bisa di gunakan untuk tidur 40 menit kemudian. Atau sekitar jam 1 dini hari kurang lebihnya. Semuanya tidur di tempat itu, termasuk kating yang mengurus kegiatan malam keakraban ini juga. Hanya tempatnya yang terpisah antara perempuan dan laki lakinya.
Ian dan kawanannya menempati bagian pinggir barisan kantung tidur yang ada. Sekalian jaga jaga kalau ada sesuatu terjadi. Hingga setelah 2 jam semua orang terlelap, Ian duduk di atas kantung tidurnya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan semuanya sudah terjebak alam mimpi, lalu beranjak dari tempatnya.
Dengan pasti kakinya berjalan hati hati agar tidak membangunkan yang lainnya ke arah ujung barisan anak anak cewe yang berseberangan dengan tempatnya tidur tadi. Dia diam sebentar, mengamati apa yang di carinya dengan sebuah senyum kecil di bibirnya. Lalu tanpa kata, Ian berbaring di depannya tanpa alas apapun. Hanya beralaskan lantai parquet dari aula itu. Menggunakan lengannya sendiri sebagai bantal dan matanya yang sejak tadi tak mau beranjak dari wajah cantik yang tengah terlelap di depannya.
"I miss you a lot," ucap Ian tanpa suara pada Hani-nya. Tatapan teduh, yang sarat akan kerinduan terpancar jelas di matanya. Karena sampai sekarang, perasaannya kepada Hani masib sama. Jadi seandainya Hani sekarang mengijinkannya, tanpa pikir panjang Ian akan maju apapun yang terjadi.
Ah, lihat hidung mancung yang dia rindukan itu! Atau bibirnya yang diam diam dulu sangat mengganggu pikirannya. Wajah ini, yang dulu jarang tersentuh make up. Atau rambutnya yang dulu hanya sebatas bahu. Sekarang sudah sepanjang ini, dan terlihat lembut saat di sentuh. Membuat Ian tidak tahan untuk menyelipkan helaian helain yang sedikit menutupi pipi Hani kebelakang telinga.
Terasa sama seperti dulu. Lembut, dan mungkin juga sama wanginya. Pipinya juga terasa sama. Rasa yang dirindukan Ian selama ini. Ian ingin merengkuhnya lagi. Membawa Hani kedalam dirinya seperti terakhir kali mereka bertemu. Tapi pikiran itu langsung enyah begitu saja saat kelopak mata Hani terbuka. Dan refleknya membuat Ian mengangkat tangannya. Hanya mengangkatnya tanpa menjauhkannya dari sisi wajah Hani.
Keduanya saling pandang dengan cara yang sama. Rindu, meski tak ada apapun yang sempat terjadi di antara keduanya dulu. Ketika akhirnya mereka bertemu lagi setelah itu, hanya saling tatap seperti ini dan pikiran keduanya seperti saling terhubung. Mengerti tanpa harus berucap.
Tapi Ian tidak tahan, dia merengkuh pipi Hani dengan tangannya tadi. Membelai pipi gadisnya ini dengan penuh kehati-hatian seperti dulu. Membuat Hani menejamkan matanya, menikmati sentuhan Ian dengan tangannya yang memegangi pergelangan tangan Ian.
"How are you?" Bisik Hani dengan suara selirih mungkin kemudian. Matanya masih terpejam, jemarinya merasakan kulit pergelangan tangan Ian.
Ian mengusap pipi gadisnya hingga matanya kini terbuka. "Im fine," balas Ian dengan cara yang sama seperti yang Hani lakukan.
Keduanya kembali larut dalam tatapan masing masing. Ian tidak tahu kalau akan semenyenangkan ini menatap orang yang di sukainya dari jarak yang begitu dekan seperti ini. Minim cahaya, tapi keduanya bisa melihat dengan jelas satu sama lainnya.
Hani tersenyum di bawah jari jari Ian. "Am i late?"
"Never in my life," Ian menatap mata Hani dalam. Hani tidak akan pernah terlambat, selama apapun waktu yang di butuhkan Hani, Ian akan menunggu. Berharap tatapan dalam Ian bisa menyampaikan itu semua dengan lebih baik dari pada sebuah kalimat panjang.