Beberapa hari setelah pertengkaran kecil mereka, Hani menghela nafas untuk ke sekian kalinya. Melepaskan mouse yang seharian ini terus di pegangannya. Punggungnya bersandar di sandaran kursi kerjanya. Memejamkan mata lalu memijat alisnya pelan. Sebentar, lalu beranjak keluar ruang kerjanya, berhenti sejenak menatap monitor besar di mejanya.
Hani membuka pintu, berjalan ke arah dapur. Mengabaikan Dabin yang menyapanya. Berlalu begitu saja ke konter dapur tanpa menoleh pada DPR crew yang tengah duduk duduk di sofa ruang tengah basecamp mereka.
Hani berdiri, memandang sekeliling dari ujung konter dapur ke ujung konter lainnya. Tak ada yang menarik di mata Hani. Lagi pula kenapa dia tadi ingin ke sini? Makan sesuatu seperti keripik yang ada di lemari gantung? Tidak. Atau membuat ramyun dengan panci yang ada di lemari bawah? Tidak juga.
Hani mengusap matanya yang lelah. Kenapa tidak ada yang menarik di dapur ini? Begitu pikirnya. Sampai dia menemukan ponsel Christian di konter dapur bersama earphone yang masih tersambung. Hani mengambilnya, memasang earphone itu ke telinganya lalu menekan tombol play yang ada di layar sentuhnya.
Lagu si pemilik ponsel langsung mengalun ke telinganya dengan lembut. Tumben sekali lagu yang di dengarnya bertema chilling jam. Membuat Hani perlahan memejamkan matanya, hanyut dalam alunannya. Bergerak ringan oleh beat yang ada di lagu tersebut. Juga menyanyikan bagian bagian lirik yang dia ingat.
Entahlah, lagu ini begitu pas dengan moodnya hari ini. Moodnya sedang buruk sejak bangun pagi tadi. Dengan alasan yang Hani sendiri tak tahu mengapa. Rasanya lelah, dan ingin menangis. Itulah kenapa dalam gerakan ringannya mengikuti musik, juga dalam nyanyian lirihnya sekarang, Hani menunduk untuk menutupi sebagian wajahnya dengan satu tangannya yang tak memegang ponsel.
Sementara itu, di sofa, Cream menyenggol lengan Ian sebagai orang pertama yang menyadari tingkah laku Hani di dapur.
"Hani kerjaan banyak ya? Nggak keluar seharian, gitu keluar begitu kelakuannya." Gumam Cream pelan agar Hani tidak mendengarnya.
Sebenarnya Cream hanya bicara pada Ian, tapi sekarang semua orang menoleh kearah dapur. Dimana Hani masih hanyut dalam lagu yang dimainkannya, di setelnya satu lagu itu berulang."Kok kaya capek banget?" Scott melotot ke Ian. Orang yang bertanggung jawab, boleh di bilang atasan Hani, orang yang menentukan apa apa saja yang harus Hani kerjakan. "Lo ngasih kerjaan seberapa banyak, nyet!"
Ian malah memberikan wajah bingung, seperti bilang kok-gue-sih di wajahnya dengan menunjukkan kedua telapak tangannya untuk memperjelas. Rasanya tugas Hani hanya finishing apa yang dikerjakannya kemarin. Tidak terlalu berat.
"Tadi gue sapa juga diem aja kan," kini Dabin ikut bicara.
"Lu tanyain kek! Lakinya juga lu nggak peka banget," Cline mengomeli Ian yang masih betah duduk bersama yang lain. "Kali aja mentalnya gimana gimana lagi."
Ian memandang teman temannya, semuanya mengisyaratkan hal yang sama. Menanyai Hani, kenapa dia bertingkah aneh. Semua orang di sini sudah tahu riwayat mental Hani, jadi semuanya langsung berpikiran mungkin saja Hani mengalami depresi atau hal sejenisnya. Tapi yang ada di otaknya Ian justru berbeda setelah mengingat sesuatu.
"Kok gue bisa lupa?" Tanyanya pada diri sendiri. Lalu berdiri untuk menghampiri Hani. Meninggalkan teman temannya dengan wajah bertanya.
Ian bersandar di konter dapur, di depan Hani yang masih sama seperti tadi. Dia tersenyum, suka sekali dengan suara lembut yang keluar dari mulut Hani. Dia mengulurkan tangan, meraih jemari Hani dan menariknya ke depan Ian bersamaan dengan Hani yang membuka mata.
Kedua tangan Ian berada di pinggang Hani, membuat Hani berdiri di antara kakinya yang masih bersandar nyaman di konter. Mata Ian memandang wajah Hani, memang sedikit kehilangan binarnya yang biasanya selalu ceria. Telunjuknya menyingkirkan anak rambut di dahi Hani, lalu melepaskan earphone yang ada di telinga gadisnya.