"Mama!" Hani berusaha berseru dengan suara serak yang dia miliki saat ini. Ekspresi di wajahnya terlihat senang saat melepaskan Ian untuk memeluk Papa dan Mamanya. Sementara Christian mengucapkan selamat pagi untuk menyapa kedua orang tua Hani, tanpa canggung atau berusaha terlalu keras untuk terlihat akrab.
"Mau masakin Hani ya?" Tanya Hani senang meski susah payah dengan suaranya saat ini.
"Iya, tadinya... Kirain anak Mama nggak ada yang jagain. Taunya, si kakak yang waktu itu bikin kamu nangis semaleman ada di sini." Ledek Mama Hani dengan kerlingan jahil pada Christian. Sedangkan Christian yang terkejut dengan penuturan Mama cuma bisa nyengir garing sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Mama ih!" Hani berusaha mengeluh. Mengerucut lucu ke arah Mama dan Papanya yang sibuk tertawa.
"Om lupa, Christian ya namanya? Tato makin banyak aja Chris.." celetuk Papa Hani mengamati tato yang sejak tadi terlihat jelas.
Hani terlihat panik dan langsung menatap lengan berotot kakak tingkatnya. Panik yang tidak beralasan karena Ian santai saja menanggapinya.
"Iya, Om. Suka sih. Mau tato nama anak saya juga kalau udah ada anaknya. Mungkin penuh besok sebadan." Christian kembali dengan tawa kecilnya membayangkan seluruh permukan kulit di badannya menghitam karena tinta rajahan tato. Tapi melihat Hani mencibir, tangan Ian meraih hidung Hani, menariknya pelan. "Nggak deng. Baru inget ada yang bilang bukan ganteng tapi malah dekil kaya preman."
"Ya udah, yuk masuk. Kok malah ngobrol di depan pintu gini," ajak Mamanya Hani ramah. Tapi Ian menolak, bukan bermaksud tidak sopan tapi dia ada urusan lain. Karena memang rencananya Ian hanya akan mengantarkan obat Hani sekaligus sarapan di sini. Nanti setelah pekerjaannya selesai dia baru akan kesini lagi.
"Iya, Tan. Tapi maaf, saya ada urusan lain. Udah di tunggu di studio. Nyempetin aja ke sini soalnya ada yang ngerengek kaya bayi." Christian terkekeh kecil melihat reaksi Hani karena ucapannya. Lupa hitungan berapa kali dia sudah tertawa disini. "But, anyway, ini obatnya. Aku beliin yang buat radang tenggorokan. Obat yang kemarin jangan di minum lagi. Aku pergi dulu. Om, tante, saya pergi dulu."
"Hati hati di jalan. Masih pagi tapi jalanan udah rame." Mamanya mewanti-wanti.
"Iya, Tan." Christian menatap Hani. "Just text me when need anything else, ok?"
Hani mengangguk dan Christian benar-benar pergi. Membuat Mama dan Papa Hani saling pandang dengan kendaraan yang di bawa Christian di bawah sana. Bagaimana tidak, jika suara dari motor besar Ian saja bisa terdengar dari lantai 3.
Selepas Christian meninggalkan apartemen, Mama, Papa dan Hani masuk ke dalam. Papa mengecek bagian dalam rumah. Melihat apakah ada yang perlu di perbaiki atau bahkan di ganti. Mama dan Hani mengeluarkan isi belanjaan di dapur kecil apartemen studio itu lalu memasukkan semuanya ke tempat masing-masing. Dilanjutkan dengan Mama Hani yang memotong sayuran untuk memasak makanan kesukaan putrinya. Bersikeras melarang Hani membantu, dan menyuruhnya duduk lesehan bersama papa sambil menonton TV.
Di tengah kegiatannya, Mama Hani menoleh sekilas sambil menanyakan sesuatu. "Udah baikan sama Christian? Dari kapan? Kok nggak pernah ngomong apa apa ke Mama sama Papa?"
Hani nyengir kuda. "Udah lama. Nggak cerita, soalnya lupa. Malah cerita temen temen yang lain ke Mama."
Mamanya menarik sebelah bibirnya. Ingin mengingatkan putrinya kalau dulu saat SMA, setelah Christian mengantarkannya pulang, Hani membuat orang rumah panik dengan menangis kencang begitu memasuki rumah. Setiap ditanya kenapa, Hani malah bilang kalau dia sudah berlaku jahat pada kakak kelasnya. Dan berakhir Hani tertidur katena terlalu lelah menangis malam itu tanpa mandi atau ganti baju.