"Ma," Ian menyapa kepada Mama Hani yang ada di ujung sambungan.
"Christian? Kenapa suara kamu? Mabok ya kamu?"
Christian nyengir seolah Mama Hani bisa melihatnya. Mama-mama memang tidak bisa di tipu meskipun oleh yang bukan darah dagingnya sendiri. Kalau sudah dekat pasti langsung tahu saja semuanya. "Dikit," cicit Ian pada akhirnya.
"Hani?"
"Hani juga." Ian menoleh ke pada Hani yang anteng di rangkulannya. "Nggak bisa bangun. Parah banget kan ma? Omelin besok."
Supir penggantinya melirik sekilas saat mendengar Ian bicara pada orang yang di sebutnya Mama tapi dengan sikap orang mabuk. Cengengesan plus sedikit ngawur.
"Tapi nggak papa kan?"
"Nggak papa. Christian pulanginnya besok aja. Sekalian maen ke rumah baru. Hani tidur tempat Christian malem ini ya, Ma? Males pulangin sekarang."
Di seberang sana Mama menghela nafas. Cuma Christian Yu kayanya calon mantu yang ijin tidak memulangkan Hani terang terangan seperti ini. Dan kondisinya mereka berdua sedang mabuk. "Ya udah. Jagain anak mama. Cuma satu tuh!"
"Siap ma! Anaknya aman sama Christian Yu! Di tutup ya ma.."
Mama hanya bergumam di sana sebagai jawaban lalu mengakhiri panggilan dari Ian. Lalu Ian memilih kembali memejamkan mata sampai 30 menit kemudian sampai di basement apartemen barunya. Ian yang tidak tidur langsung membuka matanya kala merasa mobil sudah tak bergerak lagi.
"Nanti gue transfer." Katanya pada si supir. Lalu memakai tas yang tadi di bawa Hani di lehernya dan membuka pintu. Menarik Hani untuk naik ke gendongannya dengan pintu mobil yang ditahan oleh supir wanita itu.
"Makasih banyak." Pungkas Ian yang langsung naik lift setelah menerima uluran kunci mobil dari supir wanita itu.
Ian melepaskan sepatu dengan kakinya setelah sampai di dalam apartemennya. Membiarkannya di depan pintu karena sedang tidak bisa membungkuk dan merapikannya ke rak sepatu. Langkahnya ringan memasuki kamar, seolah Hani yang tenang di punggungnya bukanlah beban yang berarti.
Terduduk di kasurnya yang nyaman, Ian melepaskan pegangannya pada Hani. Membuat wanita itu terkulai lemas di atas ranjang empuknya. Dengan sekali tarikan sepatu di kaki Hani terlepas. Di biarkan saja jatuh ke lantai saat Ian memilih memperbaiki posisi Hani setelah sebelumnya mencampakan tas di lehernya.
Setelahnya Ian menghempaskan tubuhnya ke bagian ranjang yang tersisa. Meringkuk miring dimana wajah terpejam Hani bisa terlihat dengan baik. Mengaguminya sesaat, Ian tak tahan untuk tak menyingkirkan anak rambut nakal yang menutupi wajah cantik pujaannya.
Oh, kapan Hani akan berhenti terlihat menawan di hadapannya? Pertanyaan yang salah, karena Hani akan selalu terlihat paling bersinar bagi Ian.
"Ganggu ya?" Lirih Ian ketika tiba-tiba mata Hani terbuka menatapnya. Bisa jadi karena merasa terusik oleh tangannya yang tak berhenti membelai wajahnya cantik yang bersemu merah muda karena mabuk itu.
Dengan tatapan mabuknya yang sayu, Hani menatap balik Ian tanpa menyahut. Lebih memilih tersenyum sangat tipis yang sepertinya Ian sadari itu.
"Beautiful," bisik Ian yang di detik berikutnya telah menghilangkan jarak yang tersisa di antara keduanya.
Ian mencium bibir Hani lembut. Mengecup bibir manis itu perlahan berkali kali dengan kehati hatian sebelum berubah jadi sebuah lumatan memabukkan melebihi wishkey yang mereka tenggak sebelum ini.Ian meraih tengkuk Hani, menekannya kala Hani mulai membalas pagutannya. Tersenyum kecil di sana karena Ian bersikap melebihi lembut saat menyentuhnya bahkan saat sedang mabuk seperti ini.
Gemas, Ian menarik pinggang Hani semakin menempel padanya. Membelai di sana hingga Hani bergerak menyesuaikan diri. Merasa belum cukup hingga Ian berguling, membuat Hani duduk manis di atas perut padatnya. Pasrah saat jemari kecil Hani mengangkat kaos abu abu yang di kenakannya hingga lolos dari kepalanya. Lagi lagi membuangnya sembarangan di dekat kaki ranjang.
