• 30∆ : Dream •

213 48 70
                                    

Ayo ramein juseyooo~

•°•°•


Selama kurang lebih tiga hari Hana harus menjalani masa pemulihan di rumah sakit. Dan selama itu pula perempuan berbadan dua tersebut lebih banyak diam dan merenung. Dhimas yang setiap hari selalu berada di samping istrinya itu, tidak bisa melakukan banyak untuk Hana. Begitu juga dengan keluarga yang lainnya.

Sore nanti Hana sudah bisa diperbolehkan untuk pulang. Ririn yang sudah menginap dari malam kemarin pun sedang merapihkan barang bawaan sejak Hana dirawat. Dia hanya melihat sedih kepada putrinya yang hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil menghadap ke arah jendela.

Pintu ruang rawat terbuka, Dhimas datang sambil membawa beberapa berkas di tangannya yang kemudian ia taruh di atas meja serba guna disamping ranjang. Ririn menepi, membiarkan pria itu mendekat kepada Hana.

Dhimas menopang kedua tangannya di atas ranjang pada kedua sisi tubuh Hana. Pria itu tersenyum manis, lalu mendekatkan wajahnya untuk mengecup pelan kening Hana.

"Nanti sore kita pulang, ya, Na. Kamu pasti kangen sama rumah." Perkataan pria itu seakan hanya menjadi angin lalu ditelinga Hana. Dhimas berusaha memakluminya. Ia sangat mengerti, mungkin banyak sekali beban pikiran yang memberatkan wanita di hadapannya ini.

Bahkan dokter yang mengurus Hana pun mengatakan, bahwa stress yang dialami oleh perempuan itu harus segera ditangani. Karena nanti akan berdampak buruk pada kesehatan janin yang ada di tubuhnya. Maka dari itu, Dhimas sudah merencanakan jadwal konsultasi pada psikolog--yang pernah menangani Hana dulu--sekitar dua hari setelah mereka pulang nanti.

Dhimas mengulurkan tangannya untuk menyelipkan anak rambut Hana ke belakang telinga. "Gimana kalo sekarang kita keluar? Kamu mau?" tawarnya.

Sedikit respon yang diberikan Hana adalah, sebelah alisnya yang berusaha terangkat. Hal sederhana seperti itu membuat senyum Dhimas mengembang.

"Bisa?" tanya perempuan itu dengan nada serak.

"Aku izin ke perawat ya. Pasti bisa." Dhimas menegakkan tubuhnya lalu mengusap pucuk kepala Hana pelan. "Kamu tunggu aja, nanti aku balik lagi."

Sekitar kurang lebih lima menit pria itu pergi, Dhimas kembali dengan mendorong sebuah kursi roda. Dia mendekatkan kursi roda tersebut di hadapan Hana.

"Pake kursi roda, ya," katanya.

Namun saat Dhimas ingin membantu Hana untuk turun dari ranjang, perempuan itu langsung menggeleng tegas. "Gak mau," katanya menolak.

"Gak mau apa, Na?"

"Aku gak mau pake itu," ucapnya, "aku mau jalan."

Sontak tatapan Dhimas langsung beralih pada pergelangan kaki Hana yang masih terlihat berwarna biru. Pria itu mengusap wajahnya kasar lalu menggeleng. "Kaki kamu masih luka, Na," tolak Dhimas dengan halus.

"Aku masih bisa jalan." Suara penuh ketegasan tersebut seakan membuat Dhimas tidak bisa menolaknya. Alhasil pria itu menghela nafas pasrah dan menjauhkan kursi roda dari jangkauan mereka.

Dhimas memakaikan alas kaki pada kaki Hana. Kemudian ia menggenggam tangan perempuan itu, lalu membantunya turun. Hana terlihat sedikit panik sambil meraba lengan Dhimas dan mengalungkan tangannya disana. Sejenak ia terdiam kala menetralkan detak jantungnya. Ini kali pertama Hana akan mencoba berjalan sedikit jauh dengan cahaya minim yang menyertai hari-harinya kedepan.

"Ma, Dhimas bawa Hana keluar dulu ya."

"Iya, hati-hati."

Dhimas mengangguk mengerti lalu mengalihkan atensinya pada Hana. "Siap?" tanyanya.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang