• 33∆ : We're Best Friend, Right? •

126 28 18
                                    

MANA INI YG KEMARIN KEMARIN NAGIH UPDATE?!

•°•°•°•°•

Sebulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan. Dhimas merasa senang dan juga aneh karena Hana tidak pernah meminta yang macam-macam, seperti makanan atau apapun. Senang karena ia tidak perlu repot-repot, tetapi juga heran karena ia rasa semua ibu hamil pasti akan ngidam yang aneh-aneh—itupun dari apa yang ia lihat dan dengar dari rekan-rekan kerjanya.

Mata pria itu terpaku pada tayangan film di televisi. Dengan Hana yang merebahkan diri dengan menjadikan paha Dhimas sebagai bantalnya. Pria itu mengusap kepala Hana lembut dan mengalihkan tatapan pada jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua siang.

"Hana?" panggilnya pelan, setengah berbisik. Wanita itu bergumam dengan mata yang masih memejam sempurna.

"Mau makan sesuatu gak?"

"Enggak mau."

"Kenapa enggak mau?"

Hana mengangguk pelan, lalu kelopak matanya perlahan terbuka menampakkan iris mata yang berwarna coklat gelap tampak menatap kosong. "Ngantuuuk ..." ucapnya bernada manja.

"Gak enak ya perutnya?"

"Hmm ..." gumamnya mengiyakan.

Tubuh Hana kembali bergerak sedikit menyesuaikan posisi. Kondisi perut yang semakin membesar membuat Hana kesulitan belakangan ini. Ia sering merasa pegal di pinggang dan kakinya, tidur menjadi tidak nyenyak, perut yang tiba-tiba saja terasa keram atau seperti merasakan tendangan keras oleh janinnya.

Hana sangat manja dua minggu belakangan ini. Dia ingin selalu berada di dekat Dhimas hanya untuk minta dipeluk, dan juga diusap kepala atau perutnya. Hal itu membuat Dhimas beberapa kali harus bekerja dari rumah agar Hana tidak harus mengikutinya hingga ke kantor. Karena ia tidak ingin Hana akan kelelahan nantinya karena mengekori Dhimas terus.

"Mas, aku tiba-tiba kepikiran Hendery." Hana berusah untuk mendudukan diri, dibantu oleh Dhimas. Ia bersandar pada dada bidang sang suami yang sengaja menarik tubuhnya mendekat.

"Kenapa?"

"Dia udah lulus 'kan ya?"

"Iya, udah."

"Udah kerja?"

Lagi-lagi Dhimas mengangguk walau Hana tidak melihatnya. "Kan papanya punya sekolah di Depok, dia ngajar disana."

"Oh ..." Tiba-tiba saja ekspresi wajah Hana berubah. Bibirnya dimajukan dengan kedua alis yang mengerut sedih.

"Kenapa, hm?" Dhimas sadar itu.

"Mau balik kuliah ..." lirihnya.

Sebagai seseorang yang mengalami kebutaan karena sebuah kecelakaan, tidak serta merta membuat pandangan Hana saat ini benar-benar terasa kosong dan gelap. Awalnya memang terasa seperti itu, tapi makin lama, Hana sadar bahwa dia terkadang masih bisa merasakan sedikit cahaya masuk sehingga ia dapat melihat sedikit sekali cahaya tersebut walau tidak tampak bagaimana bentuk bayangannya.

Jika sedang memikirkan itu, ia kembali diingatkan dengan kehidupannya sebelum ini. Ia rindu dengan teman-temannya, rindu bagaimana rasanya pusing dengan tugas, begadang hingga larut hingga ditemani oleh Dhimas. Ia ingin kembali.

"Rasanya nunggu antrian pendonor itu lama banget ya?" katanya lagi, "bayangin, ada berapa ribu tuna netra di Indonesia? Dan aku antrian yang kesekian ribu tersebut. Pasti harus nunggu bertahun-tahun kan?"

Nadanya terdengar sangat putus asa dan sedih. Dhimas tertegun, dia tidak dapat mengatakan apapun, karena memang benar begitu adanya. Jumlah pendonor kornea mata di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan orang-orang yang memerlukannya. Pria itu hanya bisa mendekap Hana lebih erat lagi dan mengecup hangat pucuk kepala sang istri.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang