• 31∆ : Dia, Jaehyun •

231 43 22
                                    

Part ini agak menyeramkan dan begitu sakit bagiku. Kalian siap hati ya.

•°•°•

Pada pagi hari dengan suasana yang cukup sejuk itu, sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan kantor polres yang terletak di Pusat. Sang pengemudi menghela nafasnya panjang dengan mengepalkan tangan erat di atas setir.

Ini kali pertamanya datang dengan bertujuan untuk menjenguk terdakwa, bukan untuk menjadi saksi. Dhimas mengusap wajahnya pelan, kemudian ia mematikan mesin mobil dan segera turun dari kendaraannya.

Setelah mengisi data diri untuk daftar pengunjungan, Dhimas menunggu hampir lebih dari satu jam di sana. Kakinya bergerak tidak sabaran, ia sudah berjanji kepada Hana bahwa dirinya hanya akan pergi sebentar. Namun ditengah kegelisahan tersebut, ia akhirnya mendapatkan giliran untuk mengunjungi seorang tahanan disana.

Kedua tangannya bertaut di atas meja, berhadapan dengan dinding kaca transparan yang menjadi pembatas. Pria itu menunduk, menunggu seseorang mengisi bangku kosong di seberangnya.

"Is she okay?"

Suara yang menginterupsi lamunan Dhimas itu, membuat atensi keseluruhan dari pria itu teralih. Ia menatap lawan bicaranya yang tampak sangat kusut dan berantakan.

"Please ... is she okay?" Lagi-lagi lawan bicaranya itu bertanya, lebih seperti memohon jawaban.

Dhimas mendengus kasar. "She's not," sahutnya singkat, "Hana buta."

Tubuh Jaehyun seakan membeku mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Dhimas. Pria itu mengepalkan tangannya kuat dan secara tiba-tiba langsung memukul sendiri kepalanya berkali-kali. Dhimas yang terkejut langsung berdiri dari duduknya dan melihat panik ke arah Jaehyun.

Dhimas menunduk, menopang tubuhnya dengan kedua tangan memanjang di atas meja. "Kamu pikir dengan kamu memukul diri sendiri, Hana bisa lihat lagi?!" bentaknya.

Tangan Jaehyun berhenti, dia menatap nanar pada pria berpakaian rapih dihadapannya. "Tapi itu semua salah gue!"

"Memang! Betul itu semua salah kamu," cecar Dhimas, "apa kamu nyesel sekarang?"

Jaehyun terdiam, bibirnya terasa kelu. Menyesal? Ya, dia menyesal. Bukannya mendapatkan kembali perempuan itu seutuhnya, dia malah membuat kesalahan besar yang membuat ia mendekam dibalik jeruji besi dan membuat perempuan yang dicintainya itu cacat.

"Diamnya kamu itu adalah jawaban iya, atau tidak?" Dhimas kembali mendudukkan tubuhnya.

"Iya. Gue nyesel."

Dhimas mendengus sambil melipat tangan lalu bersandar pada kursi. "Mungkin kamu bisa tunjukin penyesalan itu di persidangan nanti. Bisa aja itu jadi bonus keringanan hukuman atas kejahatan berlapis yang kamu buat."

Pria itu menjentikkan jarinya. "Persidangan kamu akan dilaksanakan empat bulan lagi."

"Hana ikut kesini? Gue mau liat dia."

Dengan tegas, Dhimas segera menggeleng sebagai jawaban. "Kejiwaan dia kembali terganggu. PTSD-nya semakin parah dari hari-kehari. Dia selalu mimpi buruk, tapi sayang gak bisa mengonsumsi obat-obatan terlalu banyak karena akan berpengaruh ke kandungannya," jelas pria itu, "dan saya benar-benar benci hal itu, karena itu semua kamu penyebabnya."

"Saya kesini cuma mau bilang ke kamu, bahwa Hana setuju untuk melakukan ECT. Kamu seorang mahasiswa kedokteran 'kan tadinya? Pasti tau itu apa."

Tangan Jaehyun mengepal erat hingga terlihat urat-urat yang menonjol. Begitu juga dengan wajahnya yang semakin memerah dengan kesal dan amarah yang menumpuk. Siap meledak kapan saja.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang