chapter 6

132 26 0
                                    

"kamu emangnya beneran gak bisa jemput aku?"

"Aku udah nunggu di halte, kamu minta supir kamu lah ke sini!"

"Terus aku pulangnya gimana? Papa enggak ke kampus, makanya aku minta kamu jemput."

"Ya udah iya, aku pake taksi aja."

Seorang gadis cantik mengerang kesal saat sambungan teleponnya sudah terputus.

Awan kelabu memenuhi seisi langit sore itu, seolah siap menjatuhkan jutaan liter air yang terkandung disana.

Halte bus sudah sepi karena sebagian orang sudah pergi lebih dulu. Kiara menunggu bus terakhir yang akan tiba dua puluh menit lagi. Ia ketinggalan bus sebelumnya karena harus ke tempat fotocopy untuk mengambil hasil jilidan tugas mata kuliahnya.

Pandangannya tertuju pada gadis yang sedang menggerutu karena tidak bisa di jemput oleh seseorang yang sebelumnya ia telpon. Gadis itu terus menerus mendongak melihat langit beberapa detik sekali. Mungkin dia takut hujan akan turun sebelum dirinya mendapat tumpangan pulang.

Payung lipat berwarna biru tersimpan apik disampingnya. Payung itu ia dapat dari Yena. Tadi siang Kiara tidak sengaja bertemu dengannya saat gadis itu berada di sekitar kawasan kampus.

"Aku lagi nyari bibit-bibit model," katanya saat Kiara bertanya apa yang Yena lakukan disana.

Kiara hanya tertawa, lalu pandangannya tertuju pada payung biru tersebut. Ia heran, di hari cerah ini mengapa Yena membawa payung?

"Nanti sore kayaknya hujan, nih kamu pake deh. Aku mau balik aja, dari pagi disini tapi tujuanku enggak tercapai."

Ah, tentang Yena dan tawarannya untuk menjadi model. Sebenarnya Kiara ingin sekali mencoba, namun setelah dipertimbangkan matang-matang, Kiara menolak tawaran itu.

Dia masih merasa takut dan bimbang, Kiara takut ia tidak bisa membagi waktu, takut tidak profesional, takut melalaikan tugas kuliahnya. Dan juga, Kiara merasa kurang percaya diri. Meskipun keluarganya bahkan Yena sendiri bilang bahwa dirinya cantik dan cocok jika menjadi model. Kiara merasa dirinya tidak seperti itu.

Yena mengerti setelah Kiara menceritakan alasan tersebut, maka gadis itu tidak memaksa Kiara lagi.

Kembali lagi pada saat ini, rintik hujan mulai turun membasahi beberapa bagian dari jutaan tempat yang ada di bumi.

Gadis yang Kiara perhatikan tadi kini mundur dan memilih duduk berlindung dibagian dalam halte. Mata Kiara masih mencuri-curi pandangan pada si gadis. Dirinya merasa tidak asing dengan gadis tersebut seolah pernah bertemu atau mungkin pernah melihat di suatu tempat.

Sambil pikirannya mencoba mengingat, Kiara terlonjak kaget saat gadis itu bertanya, "kita saling kenal?"

Kiara spontan menggeleng, "aku sadar kamu liatin aku dari tadi," ucap gadis itu dengan raut agak tidak enak dilihat.

"Enggak, aku bukan bermaksud tidak sopan liatin kamu gitu. Cuma aku ngerasa enggak asing."

"Ya, semua orang pasti kenal aku dan liatin aku mirip cara kamu liatin aku."

"Aku dikenal di kampus karena aku anak rektor."

Ah benar, anak rektor. Pantas saja terasa tidak asing. Kiara ingat sekarang, dirinya pernah melihat gadis itu di kantin.

Bertepatan setelah itu, taksi yang di pesan si gadis anak rektor itu tiba. Tak berapa lama berselang, bus yang ditunggunya juga tiba.

*

"Sini biar aku aja yang kupas buahnya."

"JANGAN BIARIN ERIC PEGANG PISAU, RA!" Teriak Yena dari arah dapur.

"IH TAPI KASIHAN KIARA, MASA TAMU DISURUH KUPAS BUAH!"

"KAMU ENGGAK INGET TERAKHIR PEGANG PISAU TELUNJUK KAMU HAMPIR PUTUS?!"

Ditengah keributan sepasang kekasih itu, Kiara memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya mengupas buah. Saat ini gadis itu sedang berada di kediaman Yena.

Si pemilik rumah sedang menyiapkan makan siang untuk dua tamu taj diundangnya, tidak, hanya eric yang tak diundang. Sedangkan Kiara memang sudah memberitahu Yena bahwa dirinya akan berkunjung selepas kuliah.

"Jari eric beneran pernah hampir putus?" Tanya Kiara saat Yena keluar dari dapur menyajikan piring-piring berisi makanan yang telah ia masak di meja makan.

"Iya! Kalo engak buru-buru ditanganin, udah buntung dia. Gak punya jari telunjuk itu bocah."

"Enggak ya, itu cuma ke iris biasa...."

"Biasa apanya? Tangan kamu sampe berdarah banyak bahkan tisu sekotak abis penuh darah, gak usah nyangkal!" Ucapan Eric langsung dipotong oleh Yena. Gadis itu sudah menatap kekasihnya dengan sengit.

Kiara terkekeh melihat pertengkaran sepasang kekasih itu. Mereka berdua begitu serasi.

"Kalian kayaknya beneran jodoh deh, mirip banget."

"Aku sebenernya suka kesel sama ini anak, ra. Tapi karena udah sayang banget jadi aku aminin deh supaya beneran jodoh."

Setelah selesai menyantap makan siang, Yena mengajak Kiara ke teras belakang rumah. Membiarkan Eric menyuci piring sendirian.

"Biarin eric aja, biar ada gunanya dia dateng ke sini," kata Yena waktu Kiara berinisiatif akan membantu mencuci piring .

"Kamu cari pacar deh, Ra. Biar seneng hidupmu."

"Emang iya pacaran bikin seneng?"

"Gatau juga sih, aku sebelum pacaran sama eric hidupku kayak monoton aja. Terus setelah sama anak itu tiap hari kayak ada aja tingkahnya. Bikin aku kesel, marah, kadang ketawa juga kalo dia lagi konyol."

"Aku masih gak paham tujuan pacaran itu apa, kalo dibilang biar hidupku bahagia, aku udah bahagia meskipun enggak punya pacar. Aku punya Kiandra, om dan tante yang sayang aku. Punya temen baik kayak kamu juga."

"Beda, beneran. Rasa bahagianya beda kalo pacar tuh. Aku juga gak paham sih sebenernya, tujuan orang pacaran kan beda-beda."

*

Belum cukup sore saat Kiara pulang dari kediaman Yena. Waktu masih menunjukkan pukul empat. Sesampainya di lobi apartemen, gadis itu kembali menengok ke luar. Tidak mendung. Tiba-tiba saja ia ingin ke atap. Melihat sunset mungkin akan menjadi suatu kebahagian sederhana.

Kegiatan yang dulu sering dia lakukan bersama Kiandra. Waktu masih SMP, mereka berdua kadang tidak langsung pulang saat selesai sekolah. Keduanya akan selalu mampir ke sebuah gedung yang sudah tidak terpakai, naik ke atapnya untuk sekedar melihat sunset.

Maka lift itu membawa si gadis ke lantai tertinggi gedung apartemennya, keluar dari lift Kiara lanjut menaiki tangga yang langsung tertuju pada sebuah pintu ke atap gedung.

Semilir angin menerpa wajahnya dengan lembut ketika pintu tersebut ia buka.

Deja vu

Pemandangan serupa dengan waktu pertama kali Kiara ke atap kini terulang dihadapannya.

Jangan! ku mohon Kiara memohon dalam hati, mengambil langkah besar menghampiri sosok serupa yang lagi-lagi berdiri di dinding pembatas.

"SAN!"




=====

SAN | Kim Chaewon x Choi San [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang