[Kak Vanko]
Begini saja, Viola. Temui aku di rumah jika kau ingin meminta sesuatu atau telepon aku saja. Aku sudah berjanji pada waktu itu. Jadi, kau tidak perlu khawatir jika aku mengingkarinya. Ya, asalkan tidak kelewat aneh juga.Viola yang membaca pesan dari sang kakak saat ia berceloteh ria pun, kini menghela napas kasar. Ia sangat kesal, tetapi ia memang tidak tahu ingin meminta apa. Menurutnya, semua keinginannya telah tercapai begitu saja.
Akan tetapi, Viola sontak berpikir. Jika tidak hari ini, itu berarti ia akan meminta sesuatu esok harinya. Alhasil, Viola setuju dengan pesan itu. Ia akan melakukannya. Sehingga, semua hal telah terselesaikan dan kasurnya telah menyapa. Mengingat, seluruh tubuhnya amat remuk, karena aktivitas hari ini.
Ia sangat membutuhkan banyak istirahat dan tidak ada yang akan mengganggunya. Terlebih, sang kakak yang maha usil, telah kembali ke asalnya yang sebenarnya. Alhasil, Viola kini memejamkan mata---diwaktu yang cukup cepat dan membiarkan alam mimpi yang indah menari-nari di dalam kepalanya.
***
"Ayah meninggalkan Ibuku demi wanita lain dan membuatku tinggal bersama wanita itu. Aku membenci Ayah!" ucap anak lelaki itu yang terus berjalan melewati trotoar, sesaat malam mulai menghampiri.
Anak lelaki itu bahkan tidak memedulikan, di mana ia sekarang? Apakah ada orang yang mencarinya? Sebab ia tidak peduli. Anak lelaki sekiranya berusia 9 tahun yang mengenakan jaket dengan pin nama Atlas Roosevelt terus berjalan tanpa rasa takut.
Namun, Atlas langsung saja menghentikan langkah saat ia tiba di sebuah jembatan. Ia menoleh ke arah luasnya lautan di bawah sana dan membelok arah. Mula-mulanya, hanya menatap, tetapi Atlas memiliki arti lain dari tatapannya.
"Atlas, Aunty Niana adalah Ibumu."
Kedua matanya pun sontak berkaca. "Kenapa aku punya ibu lain, padahal ibuku masih hidup? Hanya perlu dirawat saja, nanti akan sembuh," ucap Atlas dengan lirih.
Alhasil, Atlas sontak menatap jembatan itu untuk kedua kalinya. Berniat untuk melakukan hal nekat, saat area jembatan yang tidak terlalu ramai. Itupun, semua orang yang melintas berlalu tanpa memedulikan sekitar, karena kesibukan masing-masing.
Atlas tidak suka dengan kehidupannya. Ia sangat benci. Terlebih, wanita itu memiliki anak lain dan membuat perhatian ayahnya tercurahkan penuh pada anak itu. Dan lagi, ibunya yang sakit tidak lagi dipedulikan. Bahkan, Atlas tidak memiliki izin untuk menemui ibunya. Kata sang ayah; ia tidak boleh melakukannya dan harus menjadi anak baik dengan menurut.
Atlas tidak peduli dengan itu. Apalagi, saat sang ayah baru-baru ini menampar wajahnya, karena ia yang membuat anak wanita itu terluka. Bahkan, rasa panasnya akibat tampar itu masih sangat terasa dan membuat Atlas, langsung saja menaiki jembatan itu untuk melakukan apa yang ada dipikirannya.
Atlas memejamkan mata dan melompat. Namun, ia yang melakukan hal tersebut, merasakan seseorang seakan menariknya ke belakang dan Atlas pun langsung jatuh dan merasakan seluruh tubuhnya yang menubruk aspal---sangat sakit.
"Huh! Kau lelaki nakal! Kenapa kau ingin terjun bebas di sini? Apa kau ingin menemui Tuhan?"
Atlas yang tengah menahan perihnya akibat terjatuh, sontak menatap seorang anak perempuan yang berceloteh ria kepadanya. "Kau---"
"Aku Viola."
Atlas tidak peduli. "Aku tidak bertanya namamu."
"Aku hanya memberitahu. Lagipula, kenapa kau ingin melompat? Jika kau mati, nanti ayah dan ibumu susah mencarimu," ucap anak bernama Viola itu sembari melirik ke bawah. "Itu sangat dalam---"
"Diamlah! Kau tidak perlu peduli! Lagipula, tidak ada yang khawatir kepadaku. Baik itu jika aku mati---"
Atlas menghentikan ucapannya saat Viola menaruh jemari mungilnya di bibir Atlas. "Kata Ibuku, anak-anak adalah kesayangan kedua orangtua mereka. Jadi, jangan mengatakan itu," ucap Viola. Kemudian, menjauhkan jarinya dengan perlahan.
"Aku tahu, kau punya masalah. Namun, dengan melompat, apa itu bisa memperbaiki keadaan? Bagaimana dengan Ayah dan Ibumu?"
"Ibu?" Atlas sontak bergumam dan menatap aspal dengan lekat saat mendengar kata ibu. Ia mengingat senyum dan luka ibunya.
Tidak lama, terdengar suara terdengar yang memanggil nama Viola.
Sepertinya, itu adalah ibu dari Viola. Terbukti saat Viola melambaikan tangan dan mengangguk dengan senyum. Lantas, menatap Atlas dengan senyum manisnya. "Aku harus pergi. Ibuku sudah memanggil, tetapi kau juga harus pulang. Apa kau tahu rumahmu dan bisa pulang sendiri?"
Atlas mengangguk spontan, membuat Viola tersenyum lebar. "Baiklah. Sampai jumpa dan semoga kita bertemu di masa depan nanti." Sambil melambaikan tangan, Viola langsung saja berlalu meninggalkan Atlas seorang diri.
Atlas menatap Viola yang berjalan menjauh---perlahan menghilang dari tatapannya, membuat Atlas menghela napas. Perkataan Viola cukup benar, membuat Atlas berniat untuk kembali dan mengurungkan niatnya untuk melompat. Terlebih, ia masih memiliki ibu yang membutuhkan kehadirannya.
Atlas menyetujui pemikirannya. Ia pun memilih kembali ke rumah. Namun, kedua matanya secara tidak sengaja menatap sebuah gelang berwarna ungu pastel bernama Viola di atas aspal.
"Viola."
Atlas mengamati amat lekat gelang berwarna ungu yang kini dipegangnya. Tidak berniat untuk mengalihkan tatapan. Bahkan, lelaki itu tersenyum tipis, saat lintasan masa lalu mulai menyeruak dalam pikirannya.
"Kita bertemu lagi. Ya … sekalipun kau sama sekali tidak mengenaliku, Viola."
***
Suara burung berkicau terdengar, menjadi alarm menenangkan bagi gadis yang kini mengepang dua rambut panjangnya di pagi hari. Sekalipun dipenuh banyak masalah, gadis yang tidak lain adalah Viola, tidak pernah absen untuk melakukam joging. Ini sudah menjadi rutinitasnya.
Dengan mengenakan pakaian ala seseorang yang hendak joging, Viola kini mulai melakukan aksinya sembari mengenakan airpods---mendengar lantunan melodi yang menenangkan hati dan juga jiwa.
Kedua bibir Viola bergerak, mencoba mengikuti lirik lagu yang didengarnya seraya melakukan joging dengan santai. Disetiap jalan pun, Viola mendapat sapaan hangat dari beberapa tetangga yang tengah berlalu di hari pekan.
Viola melontarkan senyum, hingga gadis itu menghentikan langkah di lapangan bakset area perumahan. Pada intinya, ia ingin bermain basket. Alhasil, ia memutuskan untuk singgah sebentar saja. Namun, ia malah mendapatkan satu masalah kecil saat seorang pesepeda yang hendak menabraknya. Untung saja, pesepeda itu bisa mengontrol laju sepeda untuk berhenti---sebelum menghantam tubuhnya.
Viola yang tengah terkejut pun, semakin terkejut saat mencoba mengamati pemilik sepeda itu yang nyatanya tidak lain adalah Atlas.
Sungguh, bagi Viola; dunia benar-benar sangat sempit.
Tbc.
Maaf kalau kamu menemukan typo😊dan sampai jumpa dibagian selanjutnya❤
KAMU SEDANG MEMBACA
SPARKLE
Teen FictionViola Dickson adalah gadis cantik dan berprestasi yang harus menyelesaikan taruhan dengan sang kakak yang selalu saja mengatainya tidak bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terus saja mengolok-oloknya, saat ia yang ingin menjadi ketua...