21. One Day with Bumi
_-_-_-_
Katanya, rumah adalah tempat yang paling aman. Rumah adalah tempat ternyaman. Rumah adalah tempat melepas penat. Rumah adalah tempat berpulang yang tepat.
Namun Bulan tidak membenarkan hal itu. Pulang kerumah, sama saja seperti membuka luka yang belum sempat kering. Rumah yang kini, bukan lagi rumah yang dulu. Semua telah berubah. Tidak ada lagi damai. Tidak ada lagi tawa, riang, dan gembira. Tidak ada lagi lelucon receh dari sang ayah dan teriakan kasih sayang sang bunda.
Sendirian, disebuah rumah yang penuh kenangan. Sebenarnya cukup menyiksa bagi Bulan. Namun, mau bagaimanapun, ini tetap rumahnya. Biarlah mereka pergi, mencari bahagia diluar sana.
Tapi Bulan akan tetap disini. Karena bahagianya, adalah ketika dia bersinggah untuk waktu yang sangat lama di rumah ini. Bukan singgah, melainkan menetap. Ya, dia tidak akan pernah pergi.
Akhir pekan. Dulu, satu tahun yang lalu, penghuni dari sebuah rumah sederhana yang penuh kenangan ini sedang bersenda gurau menertawakan lelucon sang ayah. Yang sebenarnya garing, namun terasa lucu bagi sang anak. Ada juga seorang ibu yang menyiapkan makanan dimeja makan. Biasanya, kalau akhir pekan, mereka akan memakan nasi goreng untuk sarapan.
Ah, Bulan rindu aroma nasi goreng khas akhir pekan itu. Rasanya, ingin dia menyuruh si pembuat nasi goreng itu membuatkan nasi goreng lagi untuknya. Menyiapkannya dimeja yang sama seperti dulu.
Bulan menggeleng kepalanya. Tidak mungkin. Bagaimana bisa dia memikirkan hal seperti itu? Bulan terlalu bodoh untuk mengharapkan hal yang bahkan dia tau tidak bisa terulang kembali.
Tok...tok...tok...
Bulan bangkit dari lamunannya. Dia berjalan menuju pintu. Membukakannya untuk melihat siapa yang sepagi ini mengganggu kedamaian lamunannya.
"Ngapain lagi?" Tanya Bulan datar.
Seorang bertubuh tegap dengan setelan jas hitam, terlohat sangat tegas dan berwibawa, membawa sebuah bingkisan berwarna coklat. Entah apa isinya, Bulan tidak mau tau.
"Ini untuk Nona," ujarnya sambil menyerahkan bingkisan itu.
"Apa nih isinya?" Tanya Bulan.
"Silahkan Nona buka sendiri. Saya pamit."
Masih beberapa langkah keluar, Bulan memanggilnya. Dengan sigap dia berbalik badan.
"Dari siapa?" Tanya Bulan lagi.
Pria itu seperti menarik napas. Terlihat sedikit gugup. Namun setelah itu dia menjawab,"Pak Anwar menyuruh saya memberikan itu pada Nona. Sedikit informasi, Pak Anwar masih di Bordeux, Prancis. Belum ada tanda tanda ingin berpindah."
Setelah mengucapkan itu, Pria itu kembali membalikkan badannya lalu masuk ke sebuah mobil hitam. Melaju lah mobil hitam itu dan menghilang dari pandangan Bulan.
Bulan mendengus. Sepertinya dia sangat tidak sopan pada walinya itu. Iya, pria tadi adalah wali yang dikirimkan orang tuanya untuk mengawasi Bulan.
Pria itu baik. Sangat baik. Bahkan dia memberi tau dimana keberadaan Papanya setelah hampir satu tahun lost contact.
Sebenarnya, wali nya itu berhak memberithu Bulan lebih dari itu. Tapi, Bulan juga tau, Papanya pasti melarang keras walinya untuk memberitahu Bulan lebih banyak tentang keberadaan Papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL HURTS
Ficção AdolescenteIni kisah Bulan. Kisah seorang gadis kuat dan tangguh. Kisah seorang gadis keras kepala dan terlalu cepat menyimpulkan segala sesuatu. Ini hanya kisah seorang Bulan. Tawuran. Satu kata yang tidak asing jika berbicara dengan Bulan. Satu satunya kaun...