•PROLOG•

251 55 110
                                    


Bulan
Yang Kehilangan Cahaya-nya

Tanpa cahaya. Tanpa pelita. Inilah hidupku saat ini. Penuh dengan gulita.

Rasanya hanya diriku yang tersiksa. Disaat semua orang telah memilih kebahagiannya masing masing, aku masih disini meratapi masa lalu yang kelam. Masa lalu yang sulit membuatku beranjak bangun. Masa lalu yang bahkan membiarkanku menjadi diriku yang lain.

Kehilangan.

Aku merasakannya. Sedang merasakannya. Dan akan selalu merasakannya. Mungkin inilah garis takdirku. Akan selalu ditinggal pergi. Selalu merasakan kehilangan.

Andai saja kata kehilangan memberikan suatu efek yang membahagiakan. Pasti aku akan selalu senang membiarkannya masuk kehidupku.

Tuhan telah mengatur segalanya. Tuhan mengatur garis hidupku. Tuhan mengatur jalanku. Tuhan memberikan yang terbaik untukku. Lantas, apakah aku harus marah pada Tuhan karena memberikan garis hidup yang kian menyedihkan untukku? Apakah aku harus menuntut karena Tuhan tidak adil dalam memberi kebahagiaan? Sepertinya tidak mungkin. Disini tugasku hanya bisa pasrah. Pasrah pada takdir. Pasrah pada apa yang telah di berikan Tuhan padaku.

Kini, Hari ini, Detik ini, aku tak lagi bisa mengangis. Bahkan air mataku saja sudah mengering. Aku lupa caranya menangis.

Tertawa? Sering. Namun bukan tertawa ikhlas dan merdu yang dulu kukeluarkan bersama derasnya kebahagiaan. Tawaku kini telah sumbang serta hampa dialiri kesedihan yang kini menimpa.

Aku merindukan cahayaku Cahaya yang menyebabkanku bersinar terang. Bersinar untuk semua orang. Bulan tanpa cahaya, Bulan yang hampa.

Bulan
Yang merindukan cahaya

_-_-_-_

"BULAANNN!! MUNDURR!!"

Teriakan itu tak menggentarkan niat Bulan untuk terus menyerang. Untuk apa masuk kedalam arena jika hanya disuruh untuk menjaga jaga. Ya, itulah tugas Bulan. Hanya menjaga jaga, barangkali ada polisi datang. Namun Bulan tidak menghiraukannya. Dia masuk kedalam arena tawuran ya untuk tawuran, bukan latihan menjadi security.

Batu sebesar mangga telah digenggam erat oleh Bulan. Memfokuskan matanya pada seseorang yang tepat berada didepannya. Dipandanginya seseorang itu dengan sorot mata penuh kebencian.

Baru saja hendak dilayangkannya batu itu, sirine polisi terdengar ditelinganya.

"BULANN!! AYO PERGII!!"

Kali ini teriakan itu disahutinya. Mau tidak mau, dia harus pergi. Meninggalkan musuh bebuyutannya yang juga pergi dari arena tawuran itu. Dia tidak mau sampai berurusan dengan polisi.

"Naik!" Perintah seorang cowok yang statusnya adalah seorang sahabat itu.

Bulan naik dengan tergesa lalu motor itu pun melaju dengan kencang. Bersama dengan yang lainnya.

Tawuran.

Satu kata yang setahun terakhir ini menjadi favorit Bulan. Menjadi candu bagi Bulan. Tawuran adalah hal terampuh bagi Bulan untuk meluapkan segala rasa kecewanya. Menumpahkan segala kekesalannya. Melampiaskan segala rasa amarahnya. Pada seseorang yang baginya perusak. Hama. Dan perebut suatu kebahagiaan.

Seorang Bulan, yang manis dan anggun. Yang ramah dan humble. Yang selalu tersenyum apapun kondisinya. Kini, berubah menjadi Bulan yang cuek dan kejam. Sombong dan tidak peduli terhadap keadaan. Bulan sepenuhnya berubah.

"Lo tuh kenapa sih susah banget dikasih tau Lan? Kalo lo kenapa kenapa gimana? Yang repot siapa? Kita semua Lan!"

Dia adalah Langit. Cowok yang tadi meneriakinya saat di area tawuran. Cowok yang tadi memboncengnya.

"Nggak perlu gue bilang juga lo semua tau gue kenapa!" bentak Bulan lalu pergi menuju dapur menemui Bu Endah.

Kini mereka berada di warung Bu Endah. Tempat nongkrong, basecamp, dan tempat membolos. Namun, warung ini adalah rumah kedua bagi Bulan.

"Jangan terlalu kasar sama Bulan, Lang. Kaya yang dia bilang. Lo tau dia kenapa, kita semua tau dia kenapa. Kita cuma bantu dia aja ngelupai semua dan berdamai dengan keadaan."

Ucapan Mars membuat Langit tersadar akan apa yang dia ucapkan tadi. Seharusnya dia tidak terlalu keras pada Bulan. Yang perlu dia lakukan hanya memberikannya semangat. Dia tau benar bahwa Bulan tidak bisa menghadapi hidupnya sendirian. Namun, memang dia sendiri yang harus menghadapi hidupnya sendiri.

"Maap, tadi gue kepancing emosi banget," pinta Langit.

"Minta maap sama Bulan, bukan sama kita! Kita kita mah uda biasa lo bentak elahh!" suruh Gerhana yang sedang makan mie rebus.

Langit terdiam. Dia memejamkan matanya. Mengingat satu janji pada seseorang bahwa dia harus menjaga seorang Bulan. Tapi entah untuk keberapa kalinya dia melanggar itu. Dia baru saja membentak Bulan.

Maafin aku, gabisa jaga Bulan seperti yang kamu minta.

Karena kini hidup Bulan berbeda. Hidup Bulan penuh dengan drama.

_-_-_-_

#AuthorTime

i wanna say thank u for u all yg uda baca cerita ini💙

i love u infinity💙

i'm back!!! how's life everyone??? seneng banget akhirnya akun ini balik lagi. and u know aku uda sangat siap untuk tamatin cerita ini, xixi

-dindaadaya-

BEAUTIFUL HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang