BM 18

10.1K 1K 96
                                        

Valeria duduk sambil memeluk kakinya di sofa dekat jendela seraya memandang kosong pada rintik hujan. Sudah hampir dua jam dia dalam posisi seperti itu. Memeluk kaki dan diri sendiri sambil menunggu kedatangan Yuda. Dia berharap lelaki itu pulang. Valeria mengirim pesan namun tidak dibalas oleh Yuda, membuat Valeria cemas setengah mati.

Sepulang dari mengajar tadi. Setibanya di apartemen Valeria enggan melakukan apapun. Dia juga tidak nafsu makan, melihat makanan saja ia merasa mual sampai Valeria berpikir, apa mungkin yang dia pikirkan beberapa hari lalu benar adanya. Karena itu, dalam perjalanan pulang, Valeria mampir ke apotik untuk membeli alat uji kehamilan. Saat memandang alat itu, keraguan menyelimuti Valeria dan berakhir hanya termenung duduk di sofa.

Valeria menghela napas. Dia merapal doa dalam hati agar Yuda cepat pulang. Sungguh, Valeria ingin menyelesaikan semua ini dan membuat semuanya jelas. Gemuruh petir terdengar, membuat Valeria sedikit terjingkat. Dia mengeratkan pelukan pada tubuhnya sembari menunduk. Matanya tiba-tiba mengerjap lelah, hingga lambat-laun dia jatuh tertidur.

Di depan pintu apartemen, Yuda ragu-ragu hendak masuk. Ia masih bingung harus memulai percakapan dari mana. Dia sudah mampir ke kediaman Kakek Valeria,  untuk meminta maaf. Sejujurnya, Yuda tidak mau membuat Valeria menjanda setelah tiga bulan menikah. Tapi dia sudah tidak mampu lagi menghadapi semua ini.

Yuda membulatkan tekad, dia masuk dan disambut kegelapan. Pintu kamar tidur sedikit terbuka. Secercah cahaya dari luar apartemennya membentuk bayangan. Kaki Yuda melangkah masuk ke dalam kamar. Mencari sosok Valeria dan tertegun. Perempuan itu duduk sambil memeluk kedua kakinya. Matanya terpejam napasnya pun teratur.

Tidak kuasa membangunkan Valeria. Yuda menggendong Valeria, memindahkannya pelan-pelan diatas tempat tidur. Dengan begitu lembut, Yuda menarik selimut menutupi tubuh Valeria kemudian mencium kening perempuan itu. Desiran menghangatkan mengalir di setiap pembuluh darahnya. Tangan Yuda terkepal. Dia tidak boleh lemah. Dia harus melepas Valeria agar perempuan itu bahagia.

Yuda beranjak pergi tapi tangannya tiba-tiba di cekal. "Kau kah itu, Mas?"

Sontak Yuda duduk kembali, meraih tangan Valeria dan menggenggamnya. "Ya. Ini aku..."

"Syukurlah..." Valeria beranjak duduk, "Aku mengkhawatirkan mu. Kau tidak membalas pesan ku juga tadi. Mas sudah makan? Aku masakan sesuatu ya?"

"Tidak."

"Eh..." Valeria tidak bisa melihat jelas bagaimana raut Yuda karena cahaya di kamar hanya bersumber pada penerangan lampu diluar apartemen yang menembus korden tipis di kamar mereka. "Aku tahu Mas harus menata hati dan menerima kenyataan tentang kematian--"

"Mari bercerai, Vale..."

"Apa?"

"Aku tidak bisa memenuhi janjiku kepadamu. Aku tidak bisa membuat pernikahan bisnis ini menjadi berhasil. Aku tidak bisa memberimu cinta, apalagi... Apalagi seorang anak..."

"Kenapa?"

"Ini hukuman untukku. Aku sudah membuat cinta tulus Astrid berubah menjadi kebencian, karena itu aku menghukum diriku sendiri untuk tidak mencintai. Aku penyebab Astrid berselingkuh, karena itu aku menghukum diriku sendiri untuk terus tenggelam dalam kesendirian. Aku membunuh anakku sendiri, karena itu aku menghukum diriku sendiri untuk tidak memiliki anak. Maafkan aku, Vale... Aku--"

Kalimat panjang Yuda terpotong setelah Valeria melayangkan tamparan keras pada pipi Lelaki itu. Mata Yuda membelalak. Gemuruh kilat petir menyambar, cahaya memenuhi kamar dan Valeria bisa melihat raut terkejut Yuda.

"Valeria..."

"Saat kita bercerai, semua kesepakatan bisnis akan berakhir. Itu yang Mas inginkan?"

"Aku tidak peduli hal itu lagi. Kerugian yang ditanggung perusahaan kakek akan aku ganti..."

"Bukankah seharusnya Mas belajar dari masa lalu... Kenapa malah mengulang masa lalu?"

"Karena aku sudah tidak mampu menghadapinya..." Yuda menjauh. "Maafkan aku... Aku tidak akan menyakiti hati perempuan lagi. Kau berhak bahagia dengan lelaki lain. Lelaki yang bisa mewujudkan mimpimu..."

Bibir Valeria bergetar. Udara di kamar yang semula dingin tiba-tiba menjadi ampek. Dada Valeria rasanya begitu sesak. Paru-parunya seakan tidak bekerja. Jantungnya terasa nyeri sampai menjalar menembus punggung. Valeria tertunduk. Kedua bahunya naik turun bergetar hebat.

"Sementara, aku akan tinggal di luar. Kau tinggallah di sini..." Yuda dengan berat hati berbalik, namun sebelum dia melangkah, suara Valeria menghentikannya.

"Ini apartemen, Mas Yuda. Bukan Mas yang harus keluar, tapi aku..."

Petir menyambar menimbulkan bunyi gemuruh, membuat perabotan bergetar pelan.

Valeria turun dari tempat tidur langsung mengemasi pakaiannya. Yuda melihat Valeria membabi buta mengambil pakaian, memasukkan ke dalam koper kecil. Tangan Yuda meraih pusat lampu dan menghampiri Valeria. Menahan tangan perempuan itu.

"Hentikan! Aku yang akan pergi!"

"Tidak!" seru Valeria. Dia berhenti mengemasi pakaiannya lalu menghempaskan tangan Yuda. Kedua matanya memerah. Yuda tertegun melihat itu. "Aku yang akan pergi!" tekan Valeria. "Mas sudah menyakiti aku! Mas berjanji untuk membuat pernikahan ini berhasil. Aku menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku. Hidup dan mati ku. Suka duka ku, ku bagi denganmu. Tapi Mas tidak melakukan itu!"

Dada Valeria naik turun. Perempuan itu menjauh. "Mas menyalahkan diri Mas sendiri! Seenaknya mengambil keputusan dengan menghukum diri sendiri! Apa Mas tidak memikirkan bagaimana perasaanku?!"

Yuda mencengkeram kedua lengan Valeria. "Aku memikirkan mu! Aku tidak mau kau menderita dalam pernikahan ini, Vale... Aku ingin kau menikah dengan lelaki yang mampu mencintaimu, mewujudkan mimpimu membangun keluarga bahagia penuh cinta dan anak-anak..."

Tangis Valeria pecah. Kepalanya menunduk. Tubuhnya tidak berdaya. "Aku mencintaimu, Mas..."

Sekujur tubuh Yuda membeku mendengar pengakuan Valeria.

"Tiga bulan yang kita lalui begitu indah. Kau memujaku, memberi banyak cinta... Aku tahu awalnya begitu sulit karena pernikahan ini hanya sebuah kerjasama menguntungkan untuk dua belah pihak. Tapi aku benar-benar...." Valeria menelan ludah, kesulitan menata kalimatnya lalu mendongak. "Benar-benar merasa di cintai... Dan sekarang aku membencimu, Mas! Karena kamu begitu egois. Kamu hanya mementingkan dirimu sendiri. Kamu egois! Egois! Kamu menyerah sebelum mencoba. Kamu pecundang! Kamu bukan lelaki bertanggungjawab seperti yang dipikirkan kakek...." Valeria menarik diri.

"Aku kecewa padamu, Mas! Kamu mengulang kesalahanmu! Kamu tidak memperbaiki semua dan malah menghancurkan hidupmu! Kamu bodoh! Kamu egois! Kamu pecundang!" Napas Valeria terengah. Dia melewati Yuda yang masih membeku melanjutkan mengemasi pakaiannya.

Valeria menatap punggung Yuda. "Kamu bilang tidak akan menyakiti hati perempuan lagi? Nyatanya kamu sudah menyakiti hatiku, Mas!" Lalu Valeria melangkah pergi dari apartemen.

Yuda masih bergeming di tempatnya dan tergelak menyadari Valeria sudah pergi saat mendengar pintu apartemen yang tertutup.

***
Haiii... Hari ini khilaf sekali ya 🙏😁

Part ini agak pendek. Yah malah pendek banget 🤕

Tapi tenang, part" selanjutnya panjang kok... Saya sedang nulis 2 Bab terakhir. Targetnya Maret awal sudah selesai nulis. Jadi saya bisa fokus ke lainnya. Apalagi saat ini saya ikut lomba juga 🙏 jadi harus bisa me-manage waktu 😧 di dunia nyata juga sibuk ngurusi masalah covid 😍

Kalian harus terus jaga kesehatan ya ❤️ lakukan 3M dan makan makanan bergizi biar daya tahan tubuh bagus...

❤️ Sampai jumpa hari sabtu minggu depan 😍

Business Marriage #3 [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang