Teruntuk seorang perempuan dengan sejuta maaf di hatinya.
Aku tahu, kau adalah seorang perempuan yang selama dua tahun belakangan ini menderita gagal move on. Semoga saja aku tidak salah, tetapi dari apa yang sudah kau tulis dari surat-suratmu beberapa hari ini, aku bisa menyimpulkan demikian.
Aku awalnya tidak tahu harus mengatakan apa. Sejujurnya, selama ini aku tidak pernah berusaha mati-matian untuk move on dari seseorang. Kata orang-orang, badai pasti berlalu dan air pada akhirnya akan mengalir ke hilir. Seperti itulah yang akan terjadi nantinya, meskipun untuk kasusmu, proses ini telah memakan waktu yang cukup lama.
Aku tahu, menjadi perempuan yang pemaaf itu sangatlah mulia. Tapi maukah kau terus memberi maaf pada seseorang yang sampai detik ini tidak juga menunjukkan sedikitpun perubahannya? Aku tidak tahu apa yang kau harapkan pada seseorang yang dengan seenak hatinya meninggalkanmu demi seorang gadis yang baru dikenalnya, kemudian dengan seenak hati pula memberikan harapan-harapan untukmu namun tidak sedikitpun menunjukkan keinginannya untuk berubah dan kembali bersamamu. Harapan kosong apalagi yang kau harapkan dari lelaki yang bahkan tidak menghargai perasaan tulus yang sudah kau berikan kepadanya? Come on beb, you deserve a better person!
Sungguh aku memang tidak bisa mengerti perasaanmu. Aku tidak pernah merasakan sakitnya diselingkuhi. Itu memang benar. Kenapa? Karena aku terlalu takut mencintai terlalu dalam. Cinta yang sesungguhnya hanya pantas kuberikan kepada dia yang kelak akan menjadi pendampingku hingga usiaku menua. Namun bukan berarti aku tidak pernah benar-benar mengharapkan seseorang untuk menjadi pendampingku kelak. Hanya saja aku tidak mau menggantungkan harapanku terlalu tinggi untuk kemudian merasakan sakitnya ditinggalkan seperti itu.
Aku memang tidak sebaik dirimu dalam hal ini. Kita sama-sama keras kepala mungkin, tetapi dalam hal yang berbeda. Kau keras kepala dengan ketidakinginanmu untuk melupakan dia, aku keras kepala dengan ketidakinginanku disakiti oleh orang-orang seperti dia. Siapa dia? Saudara sahabatmu? Bukan. Ayah dari anak-anakmu? Tentu saja bukan. Dia hanyalah seorang lelaki yang pernah datang untuk menciptakan pelangi dalam kehidupanmu, namun kemudian dia pulalah yang merusak pelangi itu dengan cara yang pasti tidak pernah kau harapkan. Sudahlah!
Aku tahu kau sudah berusaha keras untuk melupakannya. Tapi kau selalu lupa satu hal: Kau pernah memberikan dia sebuah kunci atas hubungan yang pernah kalian bina. Sudah saatnya kau merebut kunci itu kembali, membuka hatimu yang telah lama terkunci, kemudian membuang kunci itu sejauh-jauhnya hingga tak lagi kau temukan cara untuk menguncinya kembali.
Sudah saatnya kau mencari kunci yang baru untuk kau berikan kepada orang lain. Sudah saatnya kau menemukan kebahagiaanmu dari seseorang yang kan mencintaimu apa adanya, seseorang yang hanya melihatmu meski ratusan perempuan cantik tengah mengejar-ngejarnya, seseorang yang mampu membuatmu tertawa dalam keadaanmu yang paling buruk, seseorang yang akan menjadi kakimu saat kau tak lagi mampu berjalan, seseorang yang akan menjadi matamu saat kau tak lagi mampu melihat dunia, seseorang yang mau menjadi apa saja, selama itu bersamamu.
Besok, lusa, atau kapanpun itu saat kau kembali menulis surat untuknya, kuharap yang ada hanyalah kebahagiaan. Perasaan bahagia karena tidak lagi tersimpan sedikitpun harapan untuk kembali bersamanya.
Kata orang, "sesungguhnya karakter pasanganmu mencerminkan karaktermu." Maukah kau merefleksikan dirimu dengan seseorang yang sudah seringkali menyakitimu?
Dari aku, seseorang yang mengharapkan kebahagiaanmu.
Di kota yang sama denganmu, 11 Februari 2015.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menghapus Jejakmu
Short Story30 Hari Menulis Surat Cinta • 30 Januari - 28 Februari 2015 Jangan pernah kembali untuk mendorongku jatuh ke lubang yang sama. Aku tidak lagi selemah itu. ~@AuliyaSahril