"Di sini nggak ada Bi Oti. Jadi, jangan …. “
“Manja,” potong Thomas pelan. “Iya.”
“Semua makanan yang teteh buat harus di …. “
“Makan,” sambar Thomas lagi. “Iya.”
“Kamar juga harus …. “
“Beresin sendiri,” sahut Thomas pelan. “Iya.”
“Bisa ….“
“Nurut sama Teteh,” jawab Thomas cepat. “Iya.”
Aku tertawa mengacak rambutnya. Thomas segera menautkan kedua alisnya tidak suka. Kepalanya sengaja dia miringkan untuk menghindari tanganku. Tangannya yang masih memegang roti isi, dia arahkan ke atas untuk menghalau gerakanku mengacak rambutnya. “Bisa nggak, jangan potong kata-kata Teteh?”
“Bisa …. “ jawabnya lirih. Thomas menunduk seraya menuntaskan sarapan roti isinya dengan lahap. Roti isi yang kubuat hanya beroleskan coklat tadi pagi. Pada hari pertama jauh dari rumah, aku justru membuatkan Thomas sarapan roti. Rasa bersalah menelusuk ke dalam hatiku tanpa bisa dicegah.
“Teteh janji besok masak yang lebih enak buat sarapan.”“Ini enak,” lanjutnya seraya menelan potongan terakhir roti isinya. “Sarapan roti aku nggak apa-apa. Teteh nggak sarapan?”
“Sudah tadi. Nungguin kamu mandi kelamaan. Ya, sudah teteh makan duluan roti isinya,” jawabku bersamaan dengan masuknya tumbler ke dalam tas. “Selama teteh kerja, kamu di rumah sendirian nggak kenapa-kenapa, ‘kan?”
“Aku …” lirih Thomas. Dia ragu-ragu dan terlihat takut-takut untuk meneruskan kalimatnya. “Aku … aku ….”
“Aku apa?” potongku gemas. “Yang jelas kalau ngomong. Nggak usah terputus-putus gitu. Coba ngomong terus terang sama teteh.”
“Jelas aja dia ngomong terbata-bata gitu, Day,” protes sebuah suara yang sangat kukenali milik siapa. “Lo, nanya kayak Mak Lampir lagi kalap memburu Sembara gitu. Gimana Thomas nggak takut coba?”
Aku terlonjak mendengar suara Ave yang tiba-tiba sudah berada di dekat meja makan tempatku dan Thomas sarapan. Aku yakin telah menutup pintu depan dengan benar pagi tadi. Keberadaan Ave yang tiba-tiba di dalam rumah, membuatku tidak nyaman dan tanpa bisa dicegah tuduhan buruk itu kumuntahkan.
“Tata krama di mana, ya? Nggak pantas tahu, masuk rumah orang tanpa permisi tanpa ketuk pintu. Rumah anak gadis pula,” ketusku di hadapan Ave.
Seperti biasa, Ave hanya bisa menyengir yang menjadi andalannya. “Gue udah ketuk pintu, Day. Udah salam juga. Lo, sih, kebawa emosi jadinya nggak dengar gue salam. Lagian salah sendiri, pintu bukannya dikunci, sih.”
“Semalam gue kunci, tadi subuh gue keluar cari udara segar. Habis itu malas mau kunci lagi. Lo, aja nggak tahu diri, masuk tanpa permisi,” kesalku.
“Ya, udah, gue minta maaf. Nggak ada maksud, sih. Gue, dengar suara kalian asyik ngobrol, gue masuk aja.” Ave berjalan pelan ke arah Thomas. Dia sampirkan tangannya ke bahu Thomas, lalu menunduk membisikkan sesuatu. “Udah siap main hari ini?” tanyanya pelan ke dekat telingan Thomas.
“Main ke mana? Nggak ada,” tolakku keras. Meski suara Ave hanya berupa bisikan, tetapi aku dapat mendengar dengan jelas ajakannya kepada Thomas.
“Teh …” panggil Thomas memasang wajah penuh permohonan. “Boleh ya, Teh? Aku berani, kok. Kalau nyasar aku bisa tanya orang ya, ‘kan, Om?”
Ave mengangguk sangat yakin. “Ini cuma kandang, Day. Nggak bakalan ada penculik di sini, gue jamin. Lagian Thomas juga bawa ponsel ya, ‘kan?”
Thomas mulai mengikuti Ave, dia mengangguk cepat dengan keyakinan serupa yang juga Ave tunjukkan. Dia bahkan sengaja mengambil ponsel dari saku celananya dan menunjukkannya kepadaku. Dasar bayi, gampang sekali diprovokasi!
“Zuhur harus pulang, lho,” kataku kepada Thomas. Sementara Ave yang masih berdiri di sebelah Thomas mendengus keras. Aku mendelik kepada Ave. “Teteh telepon zuhur nanti buat ngecek. Awas kalau sampai nggak pulang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...