Bab 7: Kalibrasi Ulang

104 21 14
                                    

Gelap hampir turun sempurna. Kemacetan di depanku tidak menunjukkan tanda-tanda segera terurai barang sedikit saja. Sementara bunyi pesan dari Pita datang beruntun memekakkan telinga. Uh, seperti tidak pernah hidup di Bogor saja. Kubiarkan ponsel berbunyi nyaring yang menampilkan nama Pita sedang memanggil di sana.

Kulajukan mobil pelan menyusul angkot yang merayap maju ke depan. Begitu gerbang jalan lingkar kampus terlihat, kubelokkan mobil ke kiri menuju portal yang diawasi satpam. Dengan menunjukkan stiker bebas parkir, satpam membolehkan mobilku masuk. Segera kupercepat laju menuju titik parkir satu gedung Graha Widya Wisuda. Aku bahkan belum sempat melepas sabuk pengaman saat ponsel kembali berbunyi kembali.

"Ya, Allah Tuhan, Pita!"

Tawa Pita membahana begitu kuangkat panggilan teleponnya. Terdengar puas sekali sudah berhasil membuatku kesal dengan terornya.

"Makanya angkat, Neng," gerutunya masih diselingi tawa. "Di mana, sih? Lama amat."

"GWW*! Sepuluh menit!"

Kumatikan ponsel kesal. Segera kumasukkan ke dalam tas dan turun dari mobil cepat. Lalu berjalan tergesa ke arah Departemen Agrohort* yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari GWW. Pita mengatakan dirinya sedang melakukan pengamatan di laboratorium kuljar*. Aku hanya perlu menghampirinya di sana.

Coba saja kemacetan dapat dimusnahkan, mungkin aku tidak akan pernah melewatkan waktu magrib di jalan. Dengan demikian aku dapat langsung membawa Pita pulang tanpa menumpang salat di kampus. Bukannya keberatan memberinya tumpangan, hanya saja aku tidak nyaman datang ke kampus setelah sekian puluh tahun menghindarinya. Apalagi sejak kejadian yang melibatkan Pak Isbir tadi pagi. Kampus makin terlihat ngeri untuk kudatangi.

Langkahku memelan saat berjarak hanya beberapa meter saja dari lab kuljar. Berbeda dengan ruangan lain yang sudah gelap dengan jendela tertutup rapat, lab kuljar justru terang benderang. Pertanda masih banyak mahasiswa yang beraktivitas di dalamnya. Baiknya aku mencari tempat salat lain saja.

"Woi!" Suara Pita.

Sontak kutajamkan pandangan ke arah sumber suara. Dari balik bayang-bayang pohon akasia, terlihat sesosok perempuan berlari kecil menuju ke tempatku berdiri.

Wajah Pita menyengir di depanku. "Ditungguin dari tadi juga. Yuk, ah." Dia menggamit tanganku yang sedang memegang ponsel untuk menghubunginya beberapa saat lalu.

"Sebentar, dong." Kulepaskan pegangan tangan Pita. "Lab belum tutup jam segini?"

Pita berdecak. "Belumlah, pakai tanya. Kenapa, sih? Takut, ya? Takut ketemu mantan?"

"Ngaco," semburku kesal. "Urang masih suci dalam debu, tahu."

Pita melepaskan tawanya. Segera kubekap mulutnya saat dia menunjukkan tanda tidak ingin berhenti tertawa. Herannya tawa Pita justru makin dalam terdengar. Dia keturunan dedemit noni-noni Belanda penghuni kebun raya atau bagaimana?

"Banyak orang, dong?" tanyaku setelah tawa Pita berhenti.

"Ya, banyak, Day. Namanya juga kampus. Mau sepi ya, kuburan!"

"Yah, gue salat tempat lain ajalah."

"Jangan, Dong. Bercanda, Day," kekehnya dengan cengiran menyebalkan. "Cuman ada gue sama anak sarjana lagi nyiapin bahan praktikum buat besok. Sebentar juga kelar dia."

"Benar, nih? Dosen praktikum ada nggak? Atau dosen yang lain gitu?"

Keadaan lab kuljar penting untuk dipastikan. Jaga-jaga supaya insiden seperti pagi tadi tidak terjadi lagi. Kalau sampai terjadi, aku benar-benar tidak siap mati muda apalagi sambil berdiri. Tidak siap sama sekali.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang