Bab 31: Kejutan dari Tawang

127 18 3
                                    

"Jangan berani-berani dekati Ipung, sebelum lo singkirkan tatapan menjijikkan itu!"

Memang Ave siapa, berani memintaku mengenyahkan tatapan mata yang sudah puluhan tahun ini kumiliki? Tambahan lagi aku bukan aktris panggung yang dapat dengan mudah beralih jenis sorot mata dalam sekejab saja hanya karena diminta sutradara. Hanya saja, kali ini Ave benar. Dia benar lagi soal tatapan mata penuh belas kasihan yang tak seharusnya kutunjukkan di depan Ipung bagaimana pun kondisinya, seperti apa pun kesehatan tubuhnya.

Akhirnya aku mengalah. Aku menuruti Ave dengan tidak menjenguk Ipung selama beberapa hari sebelum mampu menghilangkan jenis tatapan yang Ave bilang menjijikkan. Tidak gampang karena aku sendiri tak tahu seperti apa sorot mata yang Ave maksudkan itu. Namun, aku memutuskan untuk memberanikan diri menjenguk Ave setelah hatiku benar-benar kuat tidak lagi diliputi perasaan kasihan setelah mendengar cerita Ipung dari Ave.

Selama beberapa hari tak menjenguk Ipung, kukira Thomaslah yang paling merasakan dampaknya. Mereka berkawan sangat dekat, tentunya Thomas merasa sangat terkejut dengan kejadian yang menimpa Ipung kemarin. Ternyata aku keliru karena dia justru memberikan respon sebaliknya yang tak pernah kuduga-duga.

Thomas bersikap seolah-olah tak pernah melihat apa pun yang menjadikannya beralasan untuk tidak lagi berteman dengan Ipung. Dia pun tak menanyakan banyak hal kepadaku kecuali, "Aku boleh ketemu Bang Ipung nggak?" Aku menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Aku tak memberinya peringatan apa pun terkait sakit yang Ipung derita karena kurasa Thomas cukup pintar segera mencari bantuan jika hal itu terjadi lagi.

Hari ini setelah beberapa hari yang cukup lama aku menunda, akhirnya kuputuskan untuk bertekad menjenguk Ipung bagaimana pun bentuknya diriku. Hidupnya memang penuh cerita tidak bahagia, jadi kukira wajar saja jika aku menaruh simpati kepada Ipung. Kenapa hal itu menjadi masalah sementara Ipung saja belum tentu merasakan hal yang sama. Untuk itu selepas menyelesaikan pekerjaanku di lapangan dan rumah hijau, kubulatkan tekad pergi mengunjungi Ipung walau sebentar saja.

Seperti biasa, dari jauh aku bahkan dapat melihat bagaimana sosok remaja yang usianya hanya selisih lima tahun dari Thomas itu begitu giat membasuh dan membelai tubuh kudanya. Kali ini Thomas juga ikut membantunya menyisir surai Spirit yang indahnya mengalahkan rambut bintang iklan sampo kurasa. Ipung bahkan memiliki sampo khusus untuk mencuci surai dan badan Spirit. Dia juga memasukkan helaian kelopak bunga matahari ke dalam air yang digunakan untuk memandikan Spirit. Aku tak menyangka remaja sehebat itu harus ditakdirkan memiliki ....

"Teteh!" panggil Thomas riang. Dari jauh aku dapat melihat senyumnya terkembang bersama lambaian tangannya yang penuh semangat.

Aku membalas panggilan Thomas dengan melambaikan tangan. Kulangkahkan kaki cepat mendekati keduanya yang tengah asik membelai badan gempal Spirit. Setelah lebih dekat, aku menyapa Ipung seolah baru saja berjumpa setelah sekian lama terpisah. "Hai, Pung?"

"Kak," jawab Ipung gugup. Dia memandangku sekilas lalu bergerak membelai Spirit kembali. Dia meneruskan pekerjaannya memandikan Spirit dengan gestur kikuk dan salah tingkah. Kurasa aku pun akan melakukan yang sama jika kejadian kemarin juga menimpaku. Bisa jadi, aku malah malu dan menyembunyikan diri tidak ingin bertemu siapa pun lagi. Ipung berbeda, dia tetap menegakkan kepala bertemu denganku dan para pekerja lainnya di kandang meski sedikit salah tingkah.

"Mandi terus, Pung? Memang berapa kali seminggu kamu mandikan Spirit?"

"Nggak tentu, Kak" sahut Ipung masih kikuk. Dia makin salah tingkah saat aku mendekat dan mencoba membelai Spirit dari dekat. "Minimal dua kali seminggu, Spirit harus mandi. Biar badannya nggak bau, Kak."

"Sama kayak Thomas, dong. Minimal seminggu dua kali harus cuci rambut."

"Enak aja!" sungut Thomas. "Aku mandi tiap hari, keramas juga setiap hari."

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang