Prolog

288 34 14
                                    

STK332 Perancangan Percobaan

Angka tiga paling depan dari STK332 berarti, mata kuliah Perancangan Percobaan idealnya wajib diambil pada tingkat tiga. Si Gandi yang otaknya luar biasa bahkan telah mengambilnya sejak tingkat dua. Lalu aku? Sekarang sudah tahun kelima dan masih terseok-seok untuk lulus dari Rancob.

Malu? Jangan tanya. Kalau bisa diganti dengan praktik terjun ke sawah sejuta kali, kusanggupi. Apalagi saat membayangkan lontaran pertanyaan, "Ngulang, ya, Mbak?" dari para junior, rasanya ingin menghilang kalau bisa. Belum lagi menghadapi dosen pembimbing yang tengah memeriksa transkrip per semester dengan wajah ditekuk di depanku sekarang. Perut mulas, badan panas, semua menjadi satu.

"Semester genap lalu, Rancob dapat E, Day?"

Aku mengangguk.

"Rancob susah banget emang, Day? Coba, di mana susahnya? Bagi sama saya."

Aku menunduk.

"Sekarang mau ambil Rancob lagi?"

Aku terdiam.

Melihatku masih juga diam dan tidak menjawab, Bu Ning menambahkan, "Nggak usahlah, mendingan fokus nyusun skripsi. Udah pakai nilai Rancob dua tahun lalu yang D itu. Bisa, kan?"

"Jangan, Bu. Saya berjuang lima tahun demi tidak ada nilai D dalam transkrip. Saya mohon izinkan saya mengulang Rancob kembali tahun ini."

"Yakin lulus?"

Kepalaku seketika pening. Itu pertanyaan paling gambling yang sekarang sangat sulit kujawab. Jangankan Bu Ning, aku sendiri tidak yakin akan lulus nanti. Jadi, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan beliau?

"Bu, boleh masuk?"

Suara seorang pria menyelamatkanku. Sepertinya mahasiswa pascasarjana bimbingan Bu Ning juga. Aku tidak berani melihat wajahnya, terutama saat Bu Ning masih begitu serius memandang transkrip nilai di depannya.

"Oh, Dod. Masuk. Duduk dulu, ya. Antre, nih."

"Siap, Bu." Suara pintu ditutup disusul langkah sosok-yang dipanggil, Dod, oleh Bu Ning-masuk ke ruangan.

"Jadi gimana, Day?" tanya Bu Ning kembali. "Kalau kamu sanggup lulus, minimal dapet C deh, saya izinkan mengulang Rancob."

Aku mengangguk lagi.

"Bener, ya? Jangan kayak apa tuh," ucap Bu Ning sambil memikirkan sesuatu. "Apa, ya, perumpamaan buat orang jatuh ke lubang yang sama? Emm ...."

"Keledai, Bu."

"Nah, iya itu, Dod, benar." Bu Ning melihat sekilas ke arah Dod. "Jangan seperti keledai, Day. Jatuh ke lubang yang sama dua kali. Kamu malah udah jatuh ke lubang sama berapa kali, coba? Ingat, perjuangan orang tua buat menguliahkan kamu, nggak gampang, lho. Masa mau kamu sia-siakan?"

Saat Bu Ning menyebutkan kata orang tua, kemudian dilanjutkan dengan, perjuangan yang tidak gampang, entah kenapa air mataku tiba-tiba jatuh.

"Kawan satu angkatanmu sudah banyak yang lulus juga, kan, Day? Kamu sudah tahun kelima, masih belum lulus juga. Masih mau ngulang Rancob lagi."

Air mataku makin jatuh. Sudah coba kutahan sekuatnya sampai tenggorokan sakit, tetapi tetap tidak terbendung. Isakku keluar juga akhirnya.

"Lho, kok nangis, Day? Ya, ampun, jangan nangis, dong. Saya nggak ada maksud ...."

Kalimat Bu Ning terpotong oleh sebuah gerakan cepat yang menyodorkan sehelai tisu kepadaku. "Nih, hapus dulu air matanya."

"Makasih lho, Dod," kata Bu Ning mewakiliku. "Kamu jangan nangis dong, Day. Masa gitu aja, nangis. Yang kuat, seperti namamu tuh."

"Ada hubungan, Bu, nama dan menangis? Memang nama dia siapa, Bu?" Dod bertanya, penuh selidik.

Kalau boleh menyebut satu saja keinginan pada Jin Botol, ingin kuminta menutup mulut Dod saat ini juga.

"Maksud saya, jadi perempuan itu yang kuat. Jangan mudah nangis seperti Lady Diana. Nama kamu, terinspirasi dari dia, kan, Day?"

"Siapa, Bu?"

Aku menunduk makin dalam, tenggelam dalam tisu yang diberikan Dod bersama dengan derai tawa sumbangnya saat Bu Ning mengeja namaku seperti anak TK: La-Dy-Da-Ya-N a.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang