Rutinitasku pada akhir minggu jika tidak ada lemburan di kebun adalah membeli bubur ayam kesukaan Papah. Dari sekian banyak penjual bubur ayam yang ada di Bogor, dia memilih satu yang menjadi langganan tetapnya: Bubur Ayam Bu Jamparing. Bagiku, yang membuat bubur ayam Bu Jamparing ini istimewa bukanlah rasanya yang berbeda dari bubur ayam kebanyakan, melainkan lokasi jualannya.
Berada di sebuah gang sempit Babakan Tengah daerah kampus Dramaga, Bubur Ayam Bu Jamparing ini mampu mengikat lidah semua pembelinya. Terbukti meskipun lokasi warung Bu Jamparing ini berada di gang sempit, antrean pembelinya selalu mengular. Setelah kuhabiskan waktu hampir 90 menit di jalan dan mengantre, akhirnya tiga porsi bubur ayam Bu Jamparing berhasil kubawa pulang. Sayangnya aku harus merelakan satu jatah bubur untuk dia yang kehadirannya sama sekali tidak kuharapkan.
"Hai, Day?" Pak Doddy melambaikan tangan semringah. Wajahnya berseri seperti baru saja menelan mentari yang bersinar cerah pagi ini.
Aku yang sedari tadi antusias membayangkan lezatnya makan bubur ayam Bu Jamparing sembari menaikkan kaki di sofa depan teve menjadi tidak berselera lagi. Ditambah wajah Papah yang juga terlihat begitu bahagia di dekat Pak Doddy, aku makin tidak ingin masuk rumah dan memilih lari. Sayangnya motorku sudah terlanjur masuk ke garasi, tidak ada celah bagiku untuk lari.
"Pagi, Pak," sapaku setengah hati. "Mau ambil bunganya sekarang?"
"Daya!" tegur Papah. "Ada tamu bikinkan minum dulu. Kok, malah suruh ambil bunga. Nggak sopan itu namanya. Sana," usir Papah dengan isyarat matanya memintaku untuk segera ke belakang membuat minuman.
"Oh, tidak usah repot, Bapak. Betul kata Daya, saya ke sini memang mau ambil bunga, kok."
"Tapi ngasih minum tamu itu etika dasar bermasyarakat lho, Nak Doddy," terang Papah. "Jadi biar Daya buatkan minum dulu ya, baru Nak Doddy boleh ambil bunganya."
Nak? Aku saja belum pernah dipanggil Papah dengan sebutan Nak sejak hatinya mulai tertambat pada ibunya Thomas. Mungkin bagi Gamal, panggilan itu lebih lama lagi tidak pernah dia dengar. Papah baru kemarin malam bertemu Pak Doddy dan sekarang sudah sok mengakrabkan diri dengan memanggilnya Nak. Itu tidak adil sekali. Aku sakit hati.
"Hidangkan buburnya sekalian, Day," perintah Papah saat aku berjalan meninggalkan keduanya masuk ke dalam rumah menuju dapur.
Begitu sampai dapur, kujerang air dalam panci susu di atas kompor dengan bersungut-sungut. Sembari menunggu air mendidih, kusiapkan cangkir dan memasukkan teh celup ke dalamnya. Saat ingin mengambil stoples tempat gula, tanganku gatal mengarah ke stoples garam. Sepertinya akan menyenangkan menuangkan garam ke dalam cangkir, alih-alih gula. Mungkin dengan begini, Pak Doddy akan jera.
Pikiran jahat itu kutepis cepat. Mengingat malam Pak Doddy menderek Panther dengan sukarela, rasanya aku tidak tega melakukannya. Kupilih menarik napas panjang berharap setelah mengembuskannya rasa kesal akan mereda. Aku melakukannya berkali-kali dan ternyata tidak mereda sama sekali. Aku tetap dibuat kesal dengan kehadiran pak Doddy pagi ini.
Akhirnya kutuang air yang sudah mendidih ke dalam cangkir. Menunggu teh berwarna kecoklatan, kutuang bubur ke dalam mangkuk tahan panas warna turqoise yang cantik. Ini mangkuk kesukaan Papah, berdasarkan perkataan Mamah saat beliau masih menemani kami dulu. Aku hanya meneruskan semua kebiasaan Mamah saat melayani Papah. Jujur aku tidak sanggup menahan sakit hati jika Papah mulai protes perkara sepele semisal mangkuk yang dia pakai saat makan.
Setelah semua siap, kubawa teh dan bubur yang diminta Papah ke depan. Bubur kuhidangkan di atas meja beserta teh yang diminta Papah. Begitu teh dan bubur ayam sudah tersaji, aku berlalu tanpa mempersilakan mereka makan. Kudengar samar Papah sedang mengeluhkan kelakuan anak gadisnya. Terserah saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...