Selepas tutorial cukup panjang yang Pak Doddy sampaikan, aku memaksa diri untuk membawa mobilnya. Lebih tepatnya Pak Doddy yang memaksaku. Tentu saja dengan banyak sekali catatan tentang hal yang boleh dan tidak kulakukan selama berkendara. Perihal standar keamanan berkendara yang sebenarnya sudah kuhapal di luar kepala, tidak lupa dia sampaikan juga. Katanya jaga-jaga saja kalau sampai aku lupa.
Satu hal yang tidak henti-henti dia sampaikan bahkan sesaat sebelum aku menginjak pedal gas adalah, “Ingat ya, Day, torsi mobil ini sangat maksimal. Berbeda dengan si Panther punyamu. Jadi nggak perlu tekan pedal gas dalam-dalam, dia sudah akan melaju kencang. Pertahankan kecepatan di bawah tiga puluh, Day. Stabil di angka dua puluh lebih baik.” Setiap kali Pak Doddy mengatakan itu, aku hanya menanggapinya dengan anggukan singkat tanda mengerti walau ternyata tidak semudah itu dalam praktiknya.
Sekian lama mengendarai Panther, berada di balik kemudi mobil Pak Doddy sama sekali tidak membuatku senang. Sepanjang perjalanan dari Jasinga sampai Cimanggu, gugup melanda sehingga cara mengemudiku berantakan. Pak Doddy sempat beberapa kali membunyikan klakson dan menyalakan lampu jauh saat kecepatanku bertambah tiba-tiba. Kendati diwarnai dengan putusnya tali penarik beberapa kali, aku bersyukur Pak Doddy tidak menyerah memegang kendali bersama Panther di belakang. Jika saja dia menyerah, tentu perjalanan kami tidak akan berakhir di depan rumahku sekarang.
“Saya tidak tahu apakah terima kasih saja cukup untuk mengganti hari ini, Pak.”
“Santai aja, Day,” sahut Pak Doddy sembari mengambil posisi berjongkok. Dia lepaskan tali penarik dari bagian bumper belakang mobilnya yang gagahnya luar biasa. “Biasanya dibawa ke bengkel mana? Saya bantu deh, besok.”
“Eh, tidak usah, Pak. Tidak perlu. Biar saya usahakan sendiri. Malam ini Bapak sudah sangat-sangat membantu. Terima kasih banyak.”
“Yakin, nih, nggak mau dibantu bawa ke bengkel?” tanya Pak Doddy penuh selidik dengan nada mencurigakan. “Saya masih kuat buat narik Panther kamu sekali lagi, Day.”
Aku meringis mendengar sindirannya. “Sangat yakin,” ujarku sembari membantu Pak Doddy melepas tali penarik dari bumper depan si Panther. “Oh, iya, Pak. Saya pasti akan ganti towing strap yang putus beberapa kali tadi. Saya coba cari dengan spesifikasi semirip mungkin dengan punya Bapak.”
“Nggak perlu. Saya masih punya beberapa cadangan di rumah. Santai aja …. ” Kalimat Pak Doddy terpotong bersama dengan sebuah teriakan lantang yang berasal dari teras.
“Dayana! Masuk!”
Saat kutengok ke arah teras, terlihat Papah yang tengah berdiri di depan pintu sembari menghunuskan pandangan tajam kepada kami. Jika didengar dari nada suaranya, sepertinya Papah sedang dalam suasana hati yang buruk. Mengajak Pak Doddy menemuinya akan menjadikan Papah lebih murka.
“Siapa, Day? Papamu, ya?” tanya Pak Doddy yang mengikuti gerakan mataku ke arah teras. “Biar saya ketemu sama beliau, ya? Jaga-jaga aja kalau beliau salah paham.”
Sebelum aku menyetujui permintaannya, Pak Doddy telah melangkahkan kaki lebih dulu menuju teras rumah. Aku yang tidak siap dengan aksi spontannya, sigap menarik kemeja kotak-kotak gelap miliknya. “Tunggu, Pak,” cegahku sembari melepas tangan dari kemeja Pak Doddy. “Saya rasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk ketemu Papah. Mungkin lain kali Pak, saat suasana hatinya lebih baik.”
“Santai aja, Day. Paling parah saya ditinju, nggak akan ditelan bulat-bulat,” canda Pak Doddy dengan menunjukkan senyum jailnya.
“Saya serius, Pak. Papah pasti akan mengatakan sesuatu yang ….”
“Saya juga serius, Day. Nggak masalah beliau bicara apa.” Kali ini dia benar-benar membuktikan kata-katanya dengan tetap melangkah ke arah teras. Menuju ke depan pintu di mana Papah tengah berdiri marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...