Rumahku surgaku.
Itu ungkapan paling menggelikan yang pernah kudengar. Jangankan merasakan surga, baunya saja tak mampu kucium di rumah. Mungkinkah sebab Mamah sang pemilik surga di kakinya telah pergi dari rumah kami? Sepertinya iya, karena sejak kepergiannya aku harus menghadapi Papah yang entah bagaimana selalu bisa membuat kepercayaan diri mengerdil seperti rongsokan tidak berharga.
"Keluyuran dari mana? Jam segini baru pulang."
Kakiku bahkan belum sepenuhnya menjejak lantai garasi. Pintu mobil juga belum kututup dengan sempurna saat suara Papah terdengar cukup keras dari arah teras. Dulu aku bisa menanggapinya dengan suara yang tidak kalah kerasnya. Sekarang aku sudah mati rasa. Tidak ada gunanya juga bersikap emosional seperti Papah.
"Tadi aku sudah izin sama Papah, 'kan?" jawabku pelan saat telah berada di dekatnya. Masih sambil berdiri kupandangi Papah yang tengah duduk di atas kursi kesukaannya. "Aku mau antar Pita pulang dulu. Mobil dia dibawa suaminya ke Jakarta. Daripada naik angkot atau Gocar, mendingan kuantar. Sejalan juga kita."
"Ya, tapi nggak semalam ini juga. Coba lihat jam berapa itu? Nggak ngerti kalau papahmu ini sedari tadi menahan lapar?" Papah menunjuk perutnya saat mengatakan lapar. "Lagian gadis macam apa sih, yang pulang jam segini? Pantas kalau kamu belum ketemu jodoh usia segini."
Kasihan sekali Papahku ini. Tidakkah dia mampu melihatnya setelah sekian lama? Bahwa gambaran besar kehidupan kami selama ini berasal dari dirinya. Kesedihan, penderitaan, atau perkara jodohku yang dia permasalahkan barusan, tidak lain bermula darinya. Bagaimana bisa terpikir mencari jodoh saat imajiku tentang pria hanyalah sosok berengsek seperti Papah?
"Papah kayak nggak tahu Bogor aja. Jam-jam pulang kerja macetnya nggak kira-kira," sahutku sekilas. "Lagian Bi Oti bukannya sudah nyiapin makan malam? Aku juga sudah pesan layanan antar ayam bakar kesukaan Papah, kok. Begitu Thomas telepon, langsung aku pesankan."
Papah beranjak dari kursi yang didudukinya. Berjalan cepat ke arah pintu masuk dan sebelum itu mengatakan sesuatu yang sukses membuat suasana hatiku hancur sempurna hari ini. "Pintar jawab kamu. Ini hasil papah ngabisin duit nguliahin kamu bertahun-tahun?" Tanpa menunggu jawabanku Papah berlalu. Namun, pada saat dia berlalu aku masih sempat mendengar gerutuannya lirih."Kebanyakan bergaul dengan orang sawah yang nggak kenal sekolah."
Aku menarik napas panjang sembari mengais lapis kesabaran yang tersimpan. Lalu mengikuti langkah Papah masuk ke dalam rumah. Begitu langkah Papah sampai di meja makan, dia menarik kursi dan duduk di atasnya. Aku memilih masuk ke dalam kamar meletakkan tas. Tepat saat pintu kamar kubuka, terdengar ucapan menuntut dari Papah. "Mau ke mana? Suntik papah dulu sini."
"Iya, Pah. Aku taruh tas dulu lalu cuci tangan sebentar."
"Jangan lama-lama. Kamu cuci tangan aja bisa sejam."
Sejam? Dokter yang masuk ruang bedah saja tidak sampai menghabiskan waktu sejam untuk cuci tangan. Aku juga bukan pesakitan yang terlalu takut pada kuman untuk menghabiskan waktu sejam cuci tangan. Begitulah Papah. Dia seperti memiliki kepandaian untuk membuat hal-hal remeh menjadi besar dan terasa menyakitkan untuk didengarkan.
Seingatku Papah tidak begini dulu. Saat masih menjadi polisi hutan di Jawa dulu, Papah adalah sosok hangat yang penuh perhatian. Saat liburan sekolah tiba, aku dibawanya ke hutan bertemu dengan teman sejawatnya yang juga sedang berjaga giliran siang. Secara rutin Papah mengajakku dan Gamal berlatih renang di pemandian alam dekat rumah. Dia sosok orang tua paling menyenangkan yang diinginkan anak kecil saat itu.
Kehidupan kami sedikit berubah sejak memutuskan pindah ke Bogor. Papah harus menyudahi karirnya dan banting setir menjadi seorang pengusaha furnitur. Dia mulai jarang membagi waktunya dengan kami. Lebih banyak waktunya dihabiskan mengurusi usaha furniturnya yang memang dimulai dari nol. Mamah selalu memberi pengertian kepada kami saat itu, bahwa semua tidak akan lama. Papah hanya perlu waktu sampai usahanya stabil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...