Bab 2: Yes, Your Majesty!

136 25 17
                                    

Apa yang membuat masa kecil terasa bahagia? Bukan karena pada masa itu kita bebas melakukan apa saja tanpa terkena amarah orang tua. Menurutku, kita bahagia karena tidak tahu apa-apa. Itu sebabnya masa kecilku tidak ada yang membekas, kecuali tawa. Kami bermain air, berburu jamblang jatuh di pekuburan, mencuri tebu lalu memakannya sampai mulut terluka, semua kulakukan bersama kawan-kawan dengan bahagia. Paling penting, mereka tidak peduli aku siapa atau namaku adalah Lady Dayana.

Bayangkan jika kawan-kawan kecilku saat itu memiliki informasi cukup banyak tentang nama dan sosok seorang Lady Dayana. Sudah jelas mereka akan bertanya, 'Sudah gila, Lady Dayana makan tebu hasil curian? Otakmu taruh mana, seorang Lady Dayana berburu jamblang di pekuburan?'. Tidak mampu kubayangkan. Memikirkannya saja, bulu kuduk terasa meremang. Jika itu terjadi, persis tidak ada masa-masa bahagia dalam hidupku. Sebab setelahnya, selepas masa-masa sekolah dasar yang kuhabiskan di Jawa─tanah kelahiran Papah─hanya kesuraman yang bisa kuingat.

Kami sekeluarga memutuskan pindah ke Bogor saat itu, untuk menemani Nini setelah Aki meninggal dunia. Tidak ada firasat apa pun, yang teringat hanya aku begitu antusias memasuki jenjang sekolah baru. Jenjang sekolah menengah pertama yang diimpikan semua anak sekolah dasar.

Jika aura pintu gerbang sekolah menengah pertama dapat membuat seorang remaja jatuh cinta, bagiku sebaliknya. Hari pertama masuk sekolah, olok-olokan namaku sudah terdengar dari petugas administrasi sekolah. Saat itu pembagian seragam untuk siswa baru, sudah tidak ada lagi siswa yang berjajar rapi sesuai antrean, tetapi meliar dan saling berdesakan. Ketika keringat mengucur tidak terbendung, kaki kebas menunjukkan tanda-tanda kram, telinga juga mulai lelah menyimak nama-nama yang menggaung dari pengeras suara, kudengar namaku dilaungkan.

"Lady Dayana! Loket D!"

Dengan tinggi tubuh cukup menjulang, sementara badan tipis seperti anak kurang gizi tiada daging, aku sangat kesulitan membelah antrean. Dengan usaha yang gigih mendorong sana-sini, akhirnya kakiku menjejak di depan loket D yang dimaksud petugas.

"Kamu yang namanya Lady Dayana?" tanya seorang wanita berbadan besar padaku, begitu sampai di depannya. Dia bertanya sambil mengurai helaian rambut keritingnya yang lengket karena keringat di lehernya. Senyumnya tersungging, terlihat menahan ... geli?

"Betul, Ibu."

Petugas wanita itu menyerahkan kantong plastik hitam kepadaku. "Ini seragam kamu. Contoh modelnya sudah ada dalam fotokopian gambar yang ada di dalam, ya."

Aku mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berlalu pergi. Belum genap kuhitung langkah, suara petugas melaung keras dari pengeras. "Eh, Putri, eh. Putri Diana, Put, sini dulu, Put."

Merasa namaku bukanlah yang disebutkannya dengan keras, kuabaikan panggilannya meski telinga jelas mendengarnya. Celakanya, petugas wanita tadi mengulangi sekali lagi, menyebutkan namaku melalui pengeras suara dengan penyebutan yang salah. "Putri Diana, kok, nggak dengerin, sih. Sini kamu, jangan pergi dulu. Putri Diana!"

Mendengar suara petugas semakin keras, aku menoleh. Aku memandang ke arah loket D, mencari wajah petugas wanita tambun itu. Saat mata kami bertemu, kutanya dengan isyarat menggunakan telunjuk yang menunjuk ke dada.

Dia mengangguk sembari melambaikan tangan, memintaku mendekat. Suaranya kembali terdengar keras di depan mikrofon. "Iya, kamu, Putri. Dipanggil dari tadi, tidak mendengarkan. Sini, geura!"

Dengan gaung lantang yang menyebar ke seluruh penjuru sekolah, suara petugas itu memaksa fokus antrean para siswa berubah haluan. Dari awalnya tidak sabar menunggu namanya disebutkan, berubah penasaran memandangi sosokku dari kejauhan. Aku berlari cepat, menuju loket diiringi tatapan siswa lain yang masih dalam antrean.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang