Bab 30: Ipung dan Spirit

77 19 15
                                    

Ada banyak yang kukhawatirkan sebelum berangkat ke tempat Ave, terutama Thomas dan adaptasinya terhadap lingkungan baru. Kini kekhawatiran itu satu per satu berguguran seiring dengan makin banyaknya tanggung jawab baru yang harus kuselesaikan di kandang milik Ave ini. Tidak persis karena pekerjaanku juga, tetapi harus kuakui pengaruh bicara dengan Lembayung sangat luar biasa.

Aku tidak bisa bilang diriku telah berubah sepenuhnya hanya karena pembicaraan sekilas bersama Lembayung. Namun, aku juga tidak dapat memungkiri kalau sesi bersama Bayung berhasil membangunkan sesuatu dalam diriku. Sesuatu yang ingin kusebut sebagai fase tidak ingin lagi hanya mengurusi luka, tetapi mengejar rasa bahagia? Jujur saja, aku lupa caranya karena terlalu berkonsentrasi melindungi diri dari terluka, mengkhawatirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu kucemaskan.

Di antara pekerjaan melelahkan menyemai lebih dari seribu benih bunga matahari ke dalam seedling tray, aku tidak lupa untuk berusaha mencari bahagia. Tidak saja bahagia karena aku harus menghabiskan waktu seharian bergelut dengan tanah dan tanaman, tetapi aku juga mencoba bahagia dengan bersedia membuka diri kepada rekan-rekan kerjaku. Terutama saat para pekerja menawariku makan siang dengan hangat seperti sekarang.

“Mbak Daya, ayo, makan siang dulu. Nanti keburu habis waktunya,” ajak Pak Sofyan, mandor lapangan yang mengurusi bunga matahari juga.

“Iyo, Mbak. Ayo tho, makan bareng sama kita sini …” Mbak Fiyah pun menawarkan hal yang sama. Dia pekerja lepas harian yang tugasnya membersihkan gulma di sekitar area budi daya bunga matahari. “Nggak doyan ya, sama makanan wong ndeso?”

Guyonan hangat yang mereka lontarkan sempat membuatku tidak nyaman ketika awal-awal bekerja. Aku hanya terbiasa dengan ritme bekerja selama di Bisindo yang lebih banyak menyibukkan diri di lapangan dan menutup diri dari akses para pekerja lainnya. Sejak Lembayung bilang bahagia itu harus dicari dan itu tidak oleh orang lain melainkan kita sendiri yang mencarinya, aku mencoba membuka hati. Hasilnya, tidak rugi sama sekali.

“Porsi makan saya sak  gunung, kalau jatah kalian habis piye?” tanyaku berkelakar dengan bahasa Jawa.

Mereka tertawa bersamaan. Entah ada berapa lagi pekerja yang ada di dekat rumah persemaian juga ikut tertawa bersama Pak Sofyan dan Mbak Fiyah. Lihatlah, aku tidak rugi apa-apa, bukan? Mungkin mereka masih segan dan belum menganggap diriku sebagai teman sepenuhnya. Namun, aku tahu mereka tulus menawariku makan siang yang mungkin tidak seberapa porsinya.

“Eh, iso boso jowo pisan tiba’e (bisa bahasa Jawa ternyata) ,” celetuk sebuah suara perempuan paruh baya yang aku tidak tahu namanya. Dia tengah membuka bekal makan siangnya yang entah menunya apa. “Ati-ati, ojok sampek ngrasani, engkok nggarai keweron (hati-hati jangan sampai ngomongin di blakang, nanti ketahuan) .”

“Keweron ngrasani (ketahuan ngomongin di belakang), potong gaji aja, Mbak Daya,” timpal Mbak Fiyah.

“Matek (mampus), Fiyah!”

“Matek o dewe, (mampus sendiri aja) Mil,” jawab Mbak Fiyah lagi menimpali kawannya.

Meledak lagi tawa mereka. Aku hanya geleng kepala mendengar canda mereka. Mau tidak mau aku ikut tersenyum dengan kelakar yang mereka buat soal kebiasaan menggunjing dalam bahasa Jawa karena mereka tahu aku berasal dari Bogor yang dikira tidak tahu-menahu sedikit pun perihal bahasa Jawa.

Apa yang mereka sangkakan memang tidak sepenuhnya keliru, aku memang tidak bagitu banyak tahu bahasa Jawa. Papah hanya mengajariku sampai lulus sekolah dasar, setelahnya aku harus belajar bahasa Sunda saat keluarga kami kemutuskan pindah ke Bogor. Praktis pengetahuanku tentang bahasa Jawa hanya sebatas percakapan sehari-hari yang kasar.

“Ayo Mbak Daya, sini. Cobain makanan wong ndeso. Dijamin di Bogor sana pasti nggak ada. Ayo tho sini coba?” bujuk Mbak Fiyah lagi.

Ini bujukan untuk kesekian kali yang mereka lontarkan kepadaku. Awalnya kupikir ajakan mereka hanya basa-basi saja dan akan berhenti dengan sendirinya ketika aku menolaknya. Ternyata aku keliru, mereka memang benar-benar menginginkan diriku untuk makan bersama mereka. Rasanya sekali-sekali aku pun harus mencoba untuk membuka diri menerima ajakan mereka.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang