Bab 5: Manuver Valsava

115 23 14
                                    

“Siapa tadi namanya? Dayana?” tanya Pak Isbir sesaat setelah Pak Doddy mengenalkan namaku dan menjabat tangannya.

Saat mendengar nama Pak Isbir di depan halaman kantor kecamatan beberapa saat lalu, harapanku hanya satu. Pak Isbir tidak lagi mengenali dan ingat apa pun yang berkaitan denganku. Sialnya, Pak Doddy begitu lantang menjelaskan bahwa diriku juga merupakan alumnus yang sama dengan keduanya. Satu jurusan pula. Ini sungguh bencana!

“Sepertinya nggak asing, ya. Boleh tahu nama lengkapnya siapa?” Pak Isbir bertanya sekali lagi kental dengan rasa penasaran.

Sudah kubilang, datang ke kantor kecamatan ini adalah mencari mati. Mereka satu per satu telah menyiapkan lubang kuburku. Bukan hanya Pak Adnan, melainkan Pak Isbir yang bahkan hampir tidak mengenaliku mulai mengorek-ngorek penasaran. Mantra lupa yang sedari tadi kulafalkan penuh harap tertuju kepadanya, nyatanya tidak bisa membendung keingintahuan Pak Isbir.

Mungkin sepuluh atau sebelas tahun lalu aku lupa persisnya. Saat aku masih aktif kuliah dan Pak Isbir dikenal mahasiswa dengan sebutan Kak Isbir. Seorang asisten dan calon dosen muda mata kuliah Anveg. Saat itu aku harus menerima hukuman darinya menuliskan kalimat penyesalan dalam 50 lembar kertas folio bergaris; meminta maaf kepada dua orang dosen pengajar mata kuliah yang bersangkutan; ditambah menyerahkan sepuluh bibit cangkok tanaman pada akhir masa perkuliahan. Demi meluluskan mata kuliah Anveg tanpa harus mengulang. Sebab kesalahan fatal yang kulakukan.

Sebenarnya bukan sepenuhnya salahku juga. Semua adalah salah Pita dengan gaya sok pahlawannya yang membubuhkan paraf di atas namaku padahal saat itu aku bolos kelas Anveg. Anveg ini adalah mata kuliah lintas program studi yang pesertanya tidak lagi puluhan, tetapi ratusan. Menurut Pita, dengan jumlah peserta sekian banyak akan sulit mendeteksi siapa yang masuk dan bolos kelas hari itu. Perkiraannya keliru karena Pak Isbir justru mengetahuinya saat itu juga. Aku dan Pita harus menerima konsekuensi perbuatan kami. Lebih tepatnya perbuatan buruk Pita yang mirip kriminal daripada mahasiswa.

“Dayana saja, Pak,” sahutku pelan takut ketahuan.

“Dayana … Dayana,” gumam Pak Isbir keras kepala, tidak juga mau menyerah. “Sepertinya saya pernah dengar. Tapi lupa di mana, ya? Dulu pernah ada di kelas saya nggak? ”

Aku menahan diri untuk tidak menjawab dengan hanya tersenyum datar . Pak Doddy yang tidak memiliki kaitan dengan masalah kami justru lancang menyahut. “Jelas ikut dong, Bang. Nggak ikut Anveg ya, nggak bakal jadi S.P.”

Pak Isbir tergelak. Memilih tidak memperpanjang rasa penasarannya. Aku bersyukur karena sepertinya mantra lupa yang kurapalkan rupanya telah bekerja. Tidak bisa kubayangkan jika sampai Pak Isbir ingat kejadian buruk yang menghubungkan kami belasan tahun lalu. Mungkin aku tidak hanya akan melarikan diri dari kecamatan, tetapi mengubur diri dan menghilang dalam tanah selamanya.

Kami berasal dari satu almamater kampus pertanian yang sama. Dulu sekali saat Pak Doddy pertama kali singgah di KP Tenjo, aku cukup terkejut mendapati cerita Pak Kus yang mengatakan bahwa dia merupakan lulusan kampus yang sama denganku. Sempat dilanda khawatir dia tahu kisah kelamku di kampus. Mengingat jurusan kami pun sama hanya berbeda tahun masuk saja. Namun, ketakutanku pupus saat tahu tugas utama Pak Doddy berada di kantor pusat. Hari ini rasa takutku kembali begitu mengetahui Pak Isbir menjadi dosen pendamping para mahasiswa KKP itu.

“Reunian ini ceritanya?” Pak Adnan menimpali membuat gelak ceria Pak Isbir tadi semakin riuh.

“Iya, Pak. Aduh, maaf jadi ramai begini,” tukas Pak Isbir masih dengan senyumnya yang mengembang. Dia masih menjadi sosok ramah seperti yang kuingat dulu. Kecuali saat memberi hukuman padaku dia berubah menjadi galak. “Saya sama Doddy ini beda angkatan tiga tahun. Beda program studi juga, tapi aktif di himpro yang sama. Jadi ya, begitulah harap maklum.”

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang