Bab 14: Pria Riskan

94 21 27
                                    

Malam tadi aku tidak bisa tidur. Badanku terasa remuk setelah dipaksa berkendara dengan cara tidak biasa. Mataku sudah memaksa minta dipejamkan, tetapi benak tidak juga mau padam dari memikirkan Panther. Akibatnya aku hanya bisa bolak-balik di atas kasur semalaman.

Biasanya aku tidak pernah berteriak kegirangan saat mendengar kokok ayam. Dini hari tadi, aku bahkan sampai tersandung saat berlari ke kamar mandi begitu suara ayam bersahutan. Meski kantuk masih menguasai, aku harus menyiapkan diri lebih pagi untuk bersiaga menghadapi macetnya Bogor pada subuh buta. Tolong, jangan pernah berprasangka rasa gugupku ini disebabkan oleh Pak Doddy. Itu tidak benar sama sekali.

Panther memang mengecewakan semalam. Namun, dini hari saat bangun tadi aku masih berharap besar ia dapat menyala tanpa harus ditangani teknisi terlebih dahulu. Harapanku sia-sia karena Panther justru bergeming tak mau bersuara saat kucoba untuk menstarternya. Bahkan ketika aku kembali mengutak-atik mesin, aki, dan karburatornya yang sebenarnya sudah diperiksa Pak Doddy semalam, Panther tetap tidak mengeluarkan suara.

Jadi, tepat saat bilal mengumandangkan iqamah tanda akan ditegakkannya jamaah subuh, aku telah membereskan semuanya. Keperluan yang harus kubawa ke kebun telah siap dalam tas punggung hitam bervolume besar. Semua kebutuhanku telah masuk ke dalamnya tanpa kecuali, termasuk pakaian ganti dan bekal makanan yang tidak boleh tertinggal. Tidak ketinggalan susu dan roti pengganjal perut sebelum waktu sarapan tiba untuk Papah, juga telah kusiapkan di atas meja. Semua kulakukan demi berangkat ke kebun lebih pagi menggunakan motor matik yang nyaman, tetapi juga berpotensi besar membuat kelelahan.

Saat jam menunjukkan pukul 04.45 aku bersiap pergi setelah memastikan mesin motor telah panas sempurna. Tepat saat standar kunaikkan, suara klakson terdengar diikuti laju dua mobil yang memelan di depan rumah. Hatchback putih yang berjalan di depan itu milik Pita, dikendarai langsung olehnya. Sementara SUV hitam garang di belakangnya adalah milik Dipa yang juga dikendarai sendiri olehnya. Apa yang mendorong mereka datang ke rumahku pada pagi buta?

Urung naik ke atas matik, standar kembali kuturunkan. Kusambut Pita dan Dipa dengan terburu-buru berlari ke arah keduanya. Tidak peduli pagi masih gelap dan sepi, kuteriakkan tanya dari kejauhan kepada mereka. "Aya naon? Tumben?"

Pita menyengir sementara Dipa hanya mengangkat bahu sembari menunjuk ke arah istrinya. Kupercepat langkah untuk mendekati mereka. Tubuhku langsung bersandar di dekat pintu mobil Pita begitu sampai di dekat mereka. Kembali kusuarakan tanya yang belum juga dijawab keduanya. "Ada apa sih, tumben?"

"Nih," tunjuk Pita pada kunci mobil yang dia angkat tinggi-tinggi di depan mukaku. "Pakai dulu buat hari ini. Jangan pakai motorlah, capek."

"Maksudnya?"

"Maksud gue," terang Pita sambil menarik tubuhku yang tengah bersandar di dekat pintu mobilnya. Dia dorong tubuhku pelan kembali ke arah teras sambil terus berbicara, "untuk hari ini sampai Panther sembuh, lo pakai dulu si Orchid kerja. Motor lo simpan lagi ke dalam garasi. Panther biar Dipa yang ngurus. Paham?"

Orchid adalah julukan yang Pita berikan kepada mobil kesayangannya. Julukan itu rasanya sangat tepat mengingat betapa feminim karakter dirinya. Tanpa dinyana disertasi yang sedang dikerjakannya mengambil tema anggrek yang sama. Lebih dari itu, orchid sendiri merupakan nama bawaan dari pihak diler yang mendeskripsikan warna putih mobil Pita dengan white orchid pearl.

"Dari mana lo tahu Panther sakit?" tanyaku keheranan. Langkahku dengan sendirinya berhenti, membuat Pita juga berdiam tidak lagi melakukan dorongan pelan pada punggungku.

"Itu ... dari siapa, Dip?" Pita bersuara sedikit lebih keras saat bertanya kepada suaminya. Sementara Dipa lagi-lagi hanya mengangkat bahunya acuh. "Aduh, siapa sih, Dip? Bantuin, dong. Itu lho, Day .... "

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang