Jenazah Papah dikebumikan pukul 14.00 pada pengujung waktu zuhur. Aku memutuskannya begitu, bukan untuk menunggu siapa-siapa, melainkan anak lelakinya. Untuk itu aku tidak dapat meminta tolong kepada siapa pun, hanya Pita dan Dipa. Kusingkirkan semua amarah, menepikan gengsi sementara, dan memohon kepada keduanya untuk menjemput Gamal di tahanan.
Papah memiliki satu saudara lelaki dan perempuan tersisa di Blitar. Kakak laki-lakinya sudah setua dirinya, bepergian pun terlalu melelahkan sehingga aku hanya memberikan pengabaran sekaligus meminta doa. Sementara adik perempuannya yang terlambat datang kala itu, hanya dapat melihat Papah dari nisan yang menancap di atas pusara. Sebegitu, aku sudah bersyukur dia tetap hadir meski harus menempuh perjalanan panjang yang melelahkan. Sebab, keluarga Mamah yang berdekatan saja tak sudi hadir di pemakaman.
Aku mengerti kenapa keluarga Mamah melakukannya. Mereka pasti sakit hati sekali saat mengetahui perlakuan Papah kepada Mamah semasa hidupnya. Hanya saja, memaafkan seseorang yang tidak lagi memiliki upaya untuk membela dirinya bukankah lebih mulia? Aku tentu tidak bisa mengharapkan itu, karena aku tahu persis tidak semudah itu pula menyingkirkan dendam juga amarah.
Aku pun saat ini tengah berusaha menyingkirkan amarah kepada Pak Doddy. Menilik empatinya yang luar biasa selama pengurusan jenazah Papah, sesungguhnya sukar bagiku untuk tidak goyah. Dia selalu menyertaiku sejak di rumah sakit dan selama di rumah. Sekali saja, dia tidak berniat pergi meski aku terus saja bersikap menyebalkan untuk menyingkirkannya. Bahkan ketika pegangan tangannya kucampakkan, Pak Doddy tidak berniat mundur meski sebentar.
Pagi itu saat Pak Doddy mengatakan kondisi Papah turun lagi, aku segera berlari meninggalkannya menuju ke ICU. Sesampai ICU, kulihat Pita dan Dipa yang tengah terduduk tegang dengan wajah tanpa senyuman. Keduanya segera berdiri tergesa menyambut kedatanganku yang terengah di depan pintu ICU. Pita bahkan menegur keras tanpa mempedulikanku yang tengah berusaha menormalkan napas.
“Ke mana aja, sih?” tanya Pita kesal. “Nungguin pasien ICU itu jangan ditinggal-tinggal. Begini ‘kan jadinya?”
“Pit,” tegur Dipa. “Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan. Masuk, Day. Kamu sudah ditunggu sejak tadi,” pinta Dipa kepadaku setelah menegur istrinya.
Aku hendak masuk, tetapi Pita kembali melontarkan pertanyaan tidak pentingnya. “Ponsel kamu juga ke mana? Ditelepon dari tadi nggak diangkat. Untung ada Doddy. Kalau nggak …. “
“Pita!” seru Dipa memotong kata-kata istrinya cepat. Dia menghela napas berat ketika matanya menatapku, lalu kembali berkata, “Nggak usah pedulikan dia, Day. Kamu masuk aja sana.”
Kupatuhi Dipa dengan membuka pintu ICU kuat-kuat. Padahal tanpa tenaga berlebih pun, dua daun pintu dari bahan aluminium itu sangat mudah dibuka. Mungkin efek panik setelah aku mendengar kondisi Papah yang turun. Setelahnya kubuka pintu geser untuk masuk ke ruangan di mana Papah dirawat. Begitu masuk, aku dibuat terkejut dengan para tenaga medis yang mengelilinginya.
Aku tidak tahu mereka tengah melakukan tindakan apa. Aku hanya ingat ketika itu terlalu kaget dan ngeri untuk melihatnya. Bunyi monitor pasien yang menjerit-jerit nyaring membuat hatiku terasa ngilu seperti tersayat. Selama tindakan itu aku hanya terus memanjatkan doa untuk kebaikan Papah dan berharap kesakitan segera pergi darinya.
Tidak sampai tiga puluh menit, para tenaga medis menghentikan upayanya. Salah satunya menghampiriku seraya mengatakan bahwa Papah sudah tiada. Dia memintaku menghampiri Papah, entah untuk apa. Kedatanganku sama sekali tidak mampu menolongnya. Kehadiranku juga tidak mampu membuat tenaga medis itu terus berupaya melakukan tindakan menolong Papah. Jadi, untuk apa? Papah selama ini ternyata tidak berbohong kalau aku tidak berguna.
Kudekati ranjang Papah pelan. Saat berada di dekatnya, kusentuh lengannya yang masih hangat. Kubelai wajahnya menyisakan hangat yang sama. Ketika tanganku beralih menyentuh kakinya, hangat juga masih terasa. Bagaimana mungkin raga yang masih hangat ini telah ditinggalkan ruhnya? Alih-alih menangis, aku memeluk Papah dan menciumi seluruh wajahnya. Tidak peduli meski ciumanku dihalang-halangi selang dan masker yang masih terpasang di wajahnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/244085061-288-k694844.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...