Bab 29: Manajer Choi Jung Ki

86 20 39
                                    

“Hai, Bay ….”

Aku butuh waktu lebih dari seminggu untuk berani berdiri kembali di hadapan Lembayung seperti saat ini. Selama lebih dari satu minggu itu pula, aku memilih bekerja tanpa mengisi absensi. Aku menghindari datang ke kantor administrasi dan memilih langsung ke lapangan ke kebun bunga matahari. Setiap hari Lembayung menelepon untuk memintaku mengisi absensi yang juga selalu kutolak dengan alasan nanti saja kulakukan saat sore hari.

Ya, tugasku di kandang ini hanya merawat bunga matahari. Oh, bukan, bukan kandang, melainkan ranch. Selain berisi kuda-kuda lokal dari Sumba dan daerah NTT lainnya, ranch ini juga memiliki kebun bunga matahari dan tanaman hias lainnya yang harus kujaga. Meski berlainan petak tempatnya, tetapi tugasku adalah memantau pertumbuhan bunga-bunga itu.

Kupikir kebun bunga matahari ini buah dari keisengan Ave untuk membuat senang istrinya yang kebetulan penyuka tanaman hias. Ternyata aku keliru, bunga matahari ini sengaja ditanam Ave sebagai pakan untuk bayi-bayinya. Awalnya aku sempat tak percaya. Ketika kulihat sendiri para pekerja mengangkut bunga matahari ke dalam istal, aku baru percaya. Bunga matahari memiliki kandungan vitamin A sangat tinggi yang diperlukan kuda untuk membuat jernih penglihatannya. Jujur saja, aku baru mengetahuinya.

Aku juga baru tahu, kalau Ave bisa sangat menyebalkan saat menjadi atasan. Dia memberiku ultimatum saat mengetahui selama lebih dari satu minggu ini aku tidak mengisi absensi. Pagi tadi saat aku sarapan bersama Thomas, panggilan Ave datang ke ponselku. Saat kuangkat, dia hanya bicara singkat tanpa mengucapkan salam pembuka dan meniadakan salam penutup. “Lo, berani nggak absen sampai dua minggu, jangan protes kalau gaji perdana lo, gue potong selama hari yang sama.”

Akhirnya setelah beberapa saat lalu mengalami kegamangan di depan pintu kantor administrasi, aku memberanikan diri untuk masuk. Saat kulihat Bayung tidak berada di mejanya, aku sedikit lega. Aku bahkan sempat merasa senang karena tidak ditakdirkan bertemu dengannya hari ini. Setelah melakukan pindai kartu ke mesin absensi, aku bermaksud hendak pergi, tak nyana Bayung muncul dari pintu depan. Kami sempat salah tingkah, tetapi aku memilih menyapanya lebih dulu.

“Hai, Mbak Daya ….” Bayung merespon sapaanku dengan suara lembutnya. Dia sempat terkejut, tetapi berhasil menguasai dirinya. Senyumnya yang manis dan auranya yang periang segera memenuhi wajahnya. “Aku senang Mbak Daya akhirnya mau ke kantor juga. Mas Ave kemarin marah-marah sewaktu tahu Mbak Daya belum kembali ke sini sejak berhari-hari lalu. Dia marah ke Mbak Daya juga, ya?”

Aku mengangguk.

“Iya? Maaf ya, Mbak? Aku sudah berusaha meyakinkan Mas Ave waktu itu. Kubilang Mbak Daya sore bakalan ke kantor, tapi dia nggak percaya. Jadi ….”

Kupotong kalimat Bayung dengan mengibaskan tangan. “Nggak apa-apa. Nggak perlu minta maaf,” kataku cepat. “Kamu nggak salah, aku yang salah. Ave patut marah, aku layak dimarahi.”

“Mbak Daya nggak marah sama aku, ‘kan?” tanya Bayung ragu-ragu. Dia terlihat takut dan tidak nyaman saat bertanya. “Nggak mikir yang macam-macam tentang aku, ‘kan? Beneran deh, Mbak, aku nggak pernah ngadu apa pun ke Mas Ave. Sumpah,” tambahnya menggebu-gebu.

Aku tertawa. “Iya, aku percaya. Kalau pun kamu mau ngadu ya, silakan. Kamu ‘kan digaji memang buat ngadu kalau ada pekerja yang rewel macam aku.”

“Iya, sih,” jawabnya yang disambung tawa. “Tapi aku serius lho, nggak pernah ngaduin Mbak Daya sama Mas Ave. Sum ….”

“Sumpah lagi?” tanyaku memotong perkataan Bayung. “Orang-orang buang sampah sembarangan, kamu buang sumpah sembarangan.”

Seketika Bayung meledak tawanya. Dia terpingkal-pingkal memegangi perutnya. Dia bahkan mengelukkan punggungnya ketika tertawa. Saat dia mampu mengendalikan tawanya, Bayung berujar, “Aku baru tahu kalau Mbak Daya ternyata lucu.” Bayung tertawa lagi. Kali ini dia tertawa lebih keras dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Mengingatkanku kepada sosok yang sangat ingin kuhindari selama ini.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang