Matematika adalah hantu bagi anak SMA. Setidaknya begitu bagiku. Bagi mantan anak pertanian sepertiku, Rancob adalah hantu yang sebenarnya lebih dari Matematika. Aku bahkan harus mengulang dua kali untuk lulus mata kuliah ini. Aku tidak ingin membuat alasan klise tentang dosen pengajarnya yang ajaibnya mengalahkan makhluk gaib tidak kasat mata. Memang otakku saja yang terlalu lemah. Lagipula saat itu aku memang sedang dalam kondisi tidak sepenuhnya mampu berkosentrasi mengingat Mamah sedang berjuang melawan kankernya.
Isinya Rancob tidak lain adalah tentang rancangan percobaan standar yang biasanya digunakan orang-orang yang berkecimpung dalam pertanian. Sekilas terlihat mudah, tetapi mengingat riwayatku mengulang beberapa kali itu, Rancob memang sangat susah. Sampai saat ini aku bahkan hampir tidak berhenti membuka buku pegangan Rancob. Padahal sudah terhitung lebih dari sepuluh tahun aku bekerja di KP. Artinya sepuluh tahun lebih juga aku terus-menerus menggunakan teori Rancob selama pengamatan tanaman.
Selain melatih daya ingat, membuka buku Rancob sampai sekarang juga untuk menegaskan bahwa aku tidak akan membuat kesalahan selama proses analisis data pengamatan. Itu kenapa aku agak sedikit marah saat Pak Doddy meminta data pengamatan tadi pagi diuraikan. Bukan hanya tentang permintaan itu adalah tugas Pak Kus, melainkan karena Pak Doddy telah menyentil titik lemahku tepat sasaran. Saat dia mulai memberikan satu demi satu pertanyaan kepadaku selama penjelasan, rasanya seperti pesakitan di ruang pengadilan. Itu sangat-sangat menyinggung perasaan.
Untuk itu malam ini aku kembali mengulang hal yang sama beberapa hari sebelumnya. Membuka buku-buku Rancob yang terdapat beberapa versi di rak buku. Ada satu buku yang diberikan Dipa. Ada juga yang kubeli sendiri semasa kuliah dulu. Terakhir adalah Rancob koleksi lemari di KP yang sengaja kubawa dan belum kukembalikan setelah bertahun-tahun lamanya. Kuharap ini cukup menjadi amunisi jika Pak Doddy masih melakukan kekacauan yang sama besok atau entah kapan dia tiba-tiba ingin melakukannya.
Saat lembar yang kubaca sampai pada bab baru tentang percobaan faktor tunggal dalam rancangan acak lengkap, terdengar suara pintu kamar diketuk. Tidak mungkin Papah karena dia tidak suka mengetuk kamarku. Dia lebih suka berteriak kencang dari luar dan membuatku jantungan. Sepertinya Thomas karena setelah ketukan dibunyikan, ada suaranya yang terdengar.
“Teteh tidur?”
Kututup buku dengan lebih dulu menempatkan pembatas sesuai lembar terakhir yang tadi selesai terbaca. Setelah itu berjalan pelan ke arah pintu dan membukanya. “Kenapa, Thom?”
Thomas menyodorkan sebuah buku paket berukuran folio ke tanganku. Ada tulisan MATEMATIKA besar yang mendominasi sampul buku. Juga ada tulisan SMP/ MTs Kelas VIII Semester 1. Seketika aku mengerang dalam diam. Sudah kukatakan bukan, matematika adalah hantu. Bagiku tidak hanya saat SMA tapi juga jenjang sekolah sebelumnya.
“Ada PR yang belum dikerjakan?” tanyaku kembali sembari mengambil buku matematika tadi dari tangannya. “Masuk, deh. Duduk kursi dekat komputer sana. Teteh ambil kursi lipat dulu di belakang, ya.”
Tanpa menunggu jawaban Thomas, aku melesat ke teras belakang. Mencari-cari di mana kursi lipat diletakkan. Begitu melihatnya di dekat pot bunga Sansivera, segara kuambil dan membawanya ke kamar. Kulihat Thomas tengah duduk di kursi yang tadi kusebutkan sambil menggoreskan pensil ke atas buku tulisnya.
Kuintip goresan Thomas dalam keheningan. Penasaran dengan hasil akhirnya, aku memilih diam mematung di dekat pintu. Terlihat dari belakang, Thomas terus menggoreskan pensil miliknya dengan tenang. Sesekali kakinya yang menjejak lantai bergoyang-goyang entah karena apa. Beberapa kali dia arahkan pensil ke dekat pot kaktus di dekatnya. Menyipitkan mata dan sepertinya tengah mengira-ngira tinggi kaktus dengan pensil di tangannya.
Dia sedang menggambar kaktus?
Kulangkahkan kaki berjingkat untuk mendekat ke kursi di mana Thomas duduk. Penasaran dengan hasil gambarnya, kudongakkan kepala untuk mengintipnya. Sayangnya tetap tidak terlihat. Aku memutuskan menyerah dan berdiam diri sampai Thomas benar-benar telah selesai dengan gambarnya. Beberapa saat berdiri di belakangnya membuatku menyadari sesuatu. Sosok bayi merah yang suara tangisnya mampu terdengar di seluruh sudut rumah itu telah tumbuh besar. Mungkin dalam sekejap akan segera menjadi dewasa dan menolak berdekatan denganku. Padahal dulu akulah yang menolak berdekatan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...