Bab 32: Rumus Hisab

68 16 13
                                    

Malam yang ditingkahi suara-suara binatang entah apa, aku sudah lupa seperti apa rasanya. Aku pun tidak ingat indahnya langit yang berselimut gelap kala malam datang bersama warna hitamnya yang pekat. Sejak Mamah pergi, semua terasa berbeda hingga kesyahduan menikmati malam pun tak lagi menyenangkan. Bertahun-tahun belakangan, aku bahkan memaknai malam hanya sebagai rutinitas membosankan sepulang kerja yang kuhabiskan di jalan penuh kemacetan.

Malam ini berbeda, mungkin karena aku sedang menikmatinya dengan hati yang tidak karuan rasanya. Aku tidak tahu rasanya hatiku hingga malam yang berisik dengan alunan suara binatang saling bersahutan justru terasa merdu. Apakah hatiku sedang diliputi rasa marah atau bahagia, aku pun tidak tahu-menahu hingga langit yang dipenuhi rasi bintang entah apa terasa lebih indah dan bercahaya dari biasanya. Mungkin juga malam ini terasa berbeda karena ada Ave di sebelahku yang sepertinya ingin meminta maaf atas nama Tawang, tetapi lebih dahulu membuka sesi khutbah yang panjang.

“Lo, marah sama Tawang?” tanya Ave pelan. Suara binatang malam yang berisik tak mampu mengalahkan seraknya suara Ave yang terdengar lebih keras di dekat telingaku.

Aku menoleh mendapatinya telah duduk nyaman di sebelahku. Mungkin aku memang terlalu menghayati rasa hatiku yang tidak karuan sehingga kedatangan Ave pun tak kudengar. Aku memilih menghela napas panjang daripada menjawab pertanyaan Ave. Kedatangannya sama sekali tidak kuharapkan malam ini.

“Atau malah marah sama gue, ya?” tanya Ave kembali seraya membetulkan posisi duduknya. Dia angkat kedua kakinya ke atas kursi panjang, yang membuat posisi tubuhnya kini sepenuhnya telah menghadap kepadaku.

Aku masih memilih diam tidak menjawab dan membuat Ave akhirnya bertanya lagi. “Jawab, dong? Lo, marah sama gue apa sama Tawang? Apa marah sama kita berdua?”

“Kalau marah gimana?” jawabku akhirnya.

“Ya, gue minta maaf, deh. Jangan marah lagi, dong. Entar gue beliin es krim Viennetta, deh. Kalau perlu gue beli tiga deh, cuma buat lo.”

Aku melengos. “Gue bukan Thomas, maaf. Gue nggak bisa lo suap dengan hanya tiga buah es krim yang ….”

“Itu es krim legendaris, bego. Diproduksinya juga dalam jumlah terbatas, jadi ….”

“Habis minta maaf, sekarang ngatain gue bego lagi?”

“Eh, sori. Sori, gue nggak bermaksud begitu, Day. Nggak usah sensi gitulah, nggak pantes banget sih, lo!”

Aku akhirnya diam tidak melanjutkan membalas gurauan Ave. Aku tahu dia bercanda. Aku pun melakukan hal yang sama, tidak terlalu ingin menanggapi gurauannya. Aku dan Ave sudah mengenal lebih dari puluhan tahu lalu, bahkan lebih lama dari usia pertemananku dengan Pak Kus dan Pita. Kami sudah saling memahami karakter masing-masing hingga sebenarnya dia tidak perlu bertanya untuk tahu aku sedang marah atau tidak.

Kami bertetangga sebenarnya. Ave dulunya lebih dekat dengan Gamal karena mereka seusia dan merupakan teman sepermainan. Sejak Gamal pergi dari rumah, Ave lebih sering bertandang ke rumah dan mengajakku bermain. Dulunya aku menganggap dia hanya membutuhkan teman pengganti saat Gamal pergi. Belakangan aku berasumsi kalau Gamal memang sengaja menitipkanku kepadanya.

Kdekatan kami terjadi secara alami. Aku membutuhkan teman yang tidak merasa janggal hanya karena namaku mirip seorang tokoh putri di Inggris sana dan kurasa Ave pun demikian terlepas dari misinya menjagaku seperti yang diamanahkan Gamal. Lebih dari itu, kurasa kami menjadi teman karena memiliki nasib yang hampir sama sebagai korban perundungan.

Ave terlahir dari keluarga Cina yang telah menetap lama di Bogor. Sejak lahir Ave dikaruniai sepasang mata sipit yang menurutku sangat lucu, tetapi menurutnya justru kutukan. Mata itu yang membuatnya mendapatkan perundungan dengan olok-olokan semisal sipit, Cina, tukang tidur, yang membuatnya memutuskan tidak ingin berteman dengan siapa pun. Aku menyangka kesamaan inilah yang membuat kami dekat.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang