"Diminum, Day."
Segelas kopi dihidangkan di depanku. Siapa lagi kalau bukan Pak Doddy yang memaksa melakukannya? Sejujurnya aku tidak tahu-menahu apa isi gelas yang disodorkan olehnya sampai membaca tulisan Yummy Coffee di gelasnya. Gelas plastik tertutup rapat itu mengunci semua akses keluar aroma kopi yang ada di dalamnya. Membuat wanginya tidak tercium kendati hidungku berjarak cukup dekat dengan meja di mana gelas kopi itu diletakkan.
Benar, di sinilah kami akhirnya memutuskan untuk bicara. Setelah ajakan tiba-tiba Pak Doddy yang kuiakan tanpa sempat berpikir ulang. Setelah kucoba sekuat tenaga menyejajarkan langkah untuk mengejarnya. Juga setelah jarak kami telah cukup jauh dari saung, sehingga aku lebih leluasa untuk bersikap tidak tahu diri dan meminta waktunya untuk bicara.
Di bawah matahari siang yang sangat terik itu, Pak Doddy berjalan terburu-buru menuju kantor begitu kakinya melangkah keluar dari saung. Aku yang sudah mencoba secepatnya berdiri dan berlari mengejarnya, cukup kesulitan menyejajarkan langkah dengannya. Aku menutup mulut rapat-rapat demi menahan diri untuk tidak mengucapkan terima kasih. Takut saja menjadi bahan pembicaraan miring di saung sana.
Setelah kurasa jarak kami berjalan cukup jauh dari saung, ucapan terima kasih yang tertahan ini tidak dapat dibendung lagi. Aku memutuskan berhenti untuk menyejajarkan langkah dengan Pak Doddy. Berdiri di bawah terik matahari, dengan napas yang masih terengah aku mencoba untuk meneriakkan namanya lantang. "Pak, bisa minta waktu bicara?"
Alih-alih terdengar lantang, suaraku justru mirip bayi kucing yang mengeong lemah kehilangan induknya. Hampir tidak terdengar dan menghilang bersamaan dengan desau angin kencang yang bertabrakan dengan daun-daun jagung. Aku hampir menyerah saat melihat Pak Doddy terus saja melangkah tidak menghiraukan permintaanku. Namun, saat aku hampir kehilangan kesempatan bertanya untuk kedua kalinya dengan semakin jauhnya jarak yang merentang di antara kami, Pak Doddy justru berbalik badan dan memberikan jawaban. "Oke, saya juga perlu bicara sama kamu."
Kami sempat saling berbantah kata dalam pesan-pesan yang terkirim lewat ponsel untuk menentukan tempat bicara. Kebun percobaan bukan menara-menara tinggi di Sudirman yang memiliki sayap kiri-kanan. Sulit menentukan tempat bicara tanpa mengundang tatapan curiga dari para pekerja kebun lainnya. Di swalayan daerah Jasinga inilah akhirnya kami mencapai kata sepakat untuk bicara.
"Hati-hati masih panas tapi," lanjut Pak Doddy setelah tadi sempat mempersilakanku untuk meminum kopi yang disuguhkannya.
Dia mengambil duduk tepat di depan, berseberangan dengan tempatku sekarang duduk melihat ke arah gelas yang diletakkannya di atas meja. Setelah meletakkan gelas kopinya di atas meja yang sama, dia buka tutup gelasnya, membiarkan uap mengepul cepat dari dalam. Serta-merta wangi kopi memenuhi hidungku.
"Ini bukan kopi khas seperti yang kamu pengin tadi pagi. Rasanya juga kalah jauh, tapi nggak tahu gimana selalu berhasil membuat mata saya terjaga. Jadi, minum, Day." Sekali lagi Pak Doddy mempersilakanku untuk meminum kopi yang tadi dia letakkan di atas meja. Dia pun meminum kopi miliknya setelah lebih dulu menghirup aromanya.
"Saya mau minta maaf."
Pak Doddy seketika mendongak menatapku dengan raut penuh tanda tanya. "Kenapa? Bukannya itu menyenangkan?"
"Sangat. Apalagi saat mereka tidak tahu-menahu namanya telah kita jadikan olok-olokan, itu jauh lebih menyenangkan. Candu juga buat saya. Tapi, tidak dapat dibenarkan juga. Apa yang saya lakukan buruk sekali, Pak."
"Jadi?"
"Saya minta maaf sekali lagi."
Pak Doddy terdiam. Dia menutup gelas kopinya dengan tutup yang sesaat tadi sempat dia buka. Walaupun sibuk dengan gelas kopinya, tetapi Pak Doddy tidak sedikit pun memalingkan pandangan matanya dariku. Membuatku dikuasai gugup juga takut jika dia menolak memberikan maafnya. Saat aku dilanda kegugupan, tanpa disangka-sangka Pak Doddy justru mengeluarkan tawa tertahan. "Iya, iya. Saya maafkan, Day. Ya, ampun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...