Bab 4: Makhluk Astral Jadi-jadian

111 23 29
                                    

Kantor kecamatan Tenjo telah ramai dipenuhi orang. Masih dua puluh menit sebelum pukul 10.00, tetapi halaman depan kecamatan telah didominasi kerumunan mahasiswa dengan wajah antusias dan gugup menjadi satu. Jas almamater biru tua yang—juga sempat kupakai belasan tahun lalu—menyelimuti tubuh ringkih mereka mampu menutupi sedikit kegugupan itu. Oh, tidak sepenuhnya ringkih. Ada satu yang berbadan tambun dengan pipi bulat menggemaskan. Kuharap dia tidak kehilangan berat badan dan menjadi mengenaskan, saat kami berjumpa lagi beberapa bulan ke depan.

Tidak, tidak boleh. Kami tidak boleh berjumpa lagi nanti. Bukan merasa sok penting dan menolak menemui mereka. Aku bahkan pernah dalam posisi mereka bertahun-tahun lalu. Aku sangat tahu bagaimana rasanya bertemu alumnus yang sama saat berada di lokasi KKP* yang asing. Hanya saja, bertemu si tambun dan kawan-kawannya kembali, itu berarti aku harus berdua bersama Pak Doddy sekali lagi. Lebih baik mengajukan surat pengunduran diri. Aku serius ini!

Malu dan kesal yang kurasakan dari interaksi kami pagi tadi saja belum hilang. Masih terbayang jelas saat Pak Doddy bertanya kenapa data yang kucetak harus menjalani uji lanjutan. Dia juga bertanya tentang parameter pertumbuhan yang kuamati. Bahkan menanyakan detail pengamatan yang pasti dia lebih tahu, seperti cara menghitung umur bunga jantan dan betina. Paling sulit hilang adalah perkataannya tentang makhluk astral jadi-jadian.

"Maaf, Pak. Boleh saya mengatakan sesuatu?” tanyaku pagi tadi memberanikan diri. Setelah merasa cukup mengambil napas selepas menjelaskan isi data pengamatan jagung dengan penuh kehati-hatian seperti yang Pak Doddy minta.

Oleh karena apa yang ditanyakannya bukan bagianku, permintaan Pak Doddy menjadi terdengar seperti omong kosong. Terkesan hanya tes ombak. Seharusnya Pak Kus yang mengurusi analisis data, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan kepadanya. Kalau pun aku yang mengerjakan semuanya, harus ada Pak Kus di sebelah yang mendukung ulasanku. Itu tugas kepala lapangan sekaligus pemulia seperti Pak Kus. Itu juga jika Pak Doddy tahu, mengingat dia masih baru menjabat.

“Bilang aja, Day.”

"Semua yang Bapak minta jelaskan tadi, sudah tertera di hasil cetak yang saya berikan. Aplikasi yang saya pakai analisis, sudah tertera informasinya di pojokan kiri atas. Hasil uji lanjut juga saya tandai menggunakan tanda khusus dengan catatan kaki di bawah tabel ….”

“Saya tahu,” potong Pak Doddy cepat.

“Jadi?”

“Jadi,” jawab Pak Doddy memberi jeda. “Sebenarnya saya kepingin tahu sampai sejauh mana asisten pemulia memahami data yang diambilnya. Akan menjadi masalah serius bukan, kalau sampai kamu nggak ngerti? Seperti yang kamu tahu, selama ini hanya Kusumo yang bertugas melaporkannya ke saya. Asal kamu tahu, Kusumo muji kamu setinggi langit.”

Kehed sia! Oh, maaf, saat ini bersikap baik penuh tata krama adalah hal terakhir yang ada dalam pikiranku. Pak Doddy sangat pantas untuk disumpahserapahi.

“Jadi?”

“Jadi, nggak terlalu buruk, lumayanlah. Tapi Kusumo berlebihan muji kamu segitunya.”

“Jadi … Bapak …. ”

"Iya, jadi saya hanya ngetes kamu. Nggak keberatan, ‘kan?” Pak Doddy bertanya seolah-olah aku memiliki pilihan untuk menanggapi perlakuannya barusan. “Oh, iya, Day. Hari ini kamu ikut saya, ya, ke kantor kecamatan. Ada acara penyambutan mahasiswa KKP.”

Ujungnya ini? Menyuruhku datang ke kantor kecamatan?

Aku tidak heran jika ada orang yang marahan sampai saling bunuh-bunuhan. Sebab saat emosi naik hingga terasa mencekik leher, hampir semua orang akan melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Sepertiku yang bukannya menyumpahi Pak Doddy, melainkan malah mengeluarkan kata tanya yang absurd sekali lagi. “Jadiii?”

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang