Bab 17: Pameran Greg Hambali

93 19 26
                                    

The Big Five!

Aku memekik kegirangan dalam hati, ketika mata ini menatap ke arah depan di mana Aglaonema yang seksi menawan itu dipajang. Bahkan dari jarak sepuluh meter aku berdiri, keindahan mahakarya Greg Hambali dapat terlihat jelas sekali. Semburat kemerahan Aglaonema itu terlihat menyala di bawah naungan langit pagi yang terang dan cerah. Meski kejayaan kelimanya telah tergantikan, tetapi kecantikan dan daya tariknya tidak pernah lekang dimakan zaman.

“Senang?” Suara tanya penuh sindiran itu berasal dari siapa lagi kalau bukan Pak Doddy. “Tadi menolak datang, sekarang senang?”

“Lumrahnya orang datang ke pameran karena dipaksa gimana, Pak?” jawabku memasang wajah muram. Kucoba bersikap serupa marah, padahal hatiku girang setengah mati. Oh, jangan, tolong jangan lagi berprasangka jika bahagiaku ini karena Pak Doddy. Aku bahagia karena berjumpa dengan bayi-bayi mahakarya Greg Hambali. Sumpah demi semua Aglaonema yang kukoleksi!

Tawa Pak Doddy meledak. “Daya, kamu lucu.” Dia berujar dengan matanya yang membesar sementara telunjuknya sedang menuding ke arah wajahku.

Lucu lagi. Lucu dari mananya? Aku bahkan belum mengeluarkan banyak suara sejak kami sampai di pameran ini sedetik lalu. Aku juga bukan komedian yang setiap saat bisa mengeluarkan lawakan. Tambahan lagi, aku sama sekali tidak memiliki keinginan membuat lelucon di depan atasan dan membuatnya terkesan. Jadi, saat Pak Doddy mengataiku lucu, aku memilih diam tidak memberi tanggapan.

Ini kali kedua Pak Doddy mengataiku lucu, setelah yang pertama dia ucapkan saat kami berselisih pagi tadi. Saat itu dia melontarkan tuduhan yang kusangkal habis-habisan, walaupun apa yang dituduhkannya adalah sebuah kebenaran. Aku hanya tidak ingin mengakuinya terutama di depannya. Aku sendiri tidak tahu kenapa.

“Kenapa saya harus takut?” Aku berkilah dengan suara meninggi pagi tadi. Saat Pak Doddy menyebutkan dengan tepat sekali alasanku tidak ingin menghadiri undangan pameran yang dia berikan.

“Mungkin ada rahasia yang sedang kamu tutupi? Dan, datang ke pameran berpeluang besar untuk membuat rahasiamu ketahuan.”

“Rahasia apa?”

“Mana saya tahu, Day,” jawabnya dongkol. “Mantan yang ingin kamu lupakan mungkin?”

Pagi itu aku tertawa kecut dalam hati mendengar asumsi tidak masuk akal yang diajukan Pak Doddy. Menjalin hubungan dengan seseorang adalah hal yang tidak pernah terlintas dengan kondisiku yang seperti sekarang. Lantas, bagaimana dia berasumsi aku memiliki mantan sementara menjalin hubungan dengan seseorang saja tidak pernah kulakukan?

“Masa lalu yang tidak menyenangkan? Ketemu teman yang dulu melakukan perundungan?” lanjutnya dengan membuat tebakan acak. “Atau kamu takut bakalan ketemu dosen yang membuatmu harus mengulang mata kuliah beberapa kali misal?”

Seratus! Tebakan Anda benar lagi, Pak! Dari asumsinya yang tidak mendasar, kenapa Pak Doddy justru bisa menebak dengan benar? Aku tidak percaya jika ini hanya kebetulan, tebak-tebak berhadiah. Jika benar dia hanya menebak acak, aku harus menyarankannya segera alih profesi. Pak Doddy sang pengganti Roy Kiyoshi mungkin?

“Atau lagi,” Pak Doddy kembali berujar dengan mata yang mengerling. “Kamu takut jalan bareng saya? Takut saya apa-apakan, ya?”

“Itu tidak benar, Pak,” kilahku.

“Mana yang nggak benar? Mantan yang ingin kamu lupakan? Masa lalu tidak menyenangkan? Teman yang melakukan perundungan? Atau …. “

“Semuanya!” seruku memotong semua omong kosongnya

“Semuanya?”

“Ya, semuanya,” sergahku kesal. Aku berdiri beranjak dari kursi dan memperhatikannya dari jarak dekat. “Semua yang Pak Doddy bilang tadi tidak benar sama sekali. Itu asumsi paling tidak mendasar yang pernah saya dengar.”

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang