Lewat tengah hari aku tiba di KP kembali. Kali ini tidak bersama Pak Doddy. Dia melesat entah ke mana setelah memberiku surat tugas untuk datang ke penyuluhan rutin petani pada pagi tadi. Awalnya aku menolak perintahnya, beralasan Pak Kus yang biasanya datang memberikan materi penyuluhan. Namun, aku bisa apa saat Pak Doddy justru menyandera Pak Kus bersamanya.
Sejak pagi sebelum memberikan surat tugas padaku, Pak Doddy sibuk mengajak Pak Kusumo dan dua pemulia senior lainnya berdiskusi. Dia tidak membiarkan seorang pun masuk ke ruangannya kecuali memiliki keperluan yang tidak dapat ditunda lagi. Sepertinya ada kaitannya dengan acara pelepasan benih padi ladang terbaru yang dilakukan Bisindo. Dengan berat hati kupenuhi surat tugas itu.
Penyuluhan petani ini merupakan program rutin yang diinisiasi pihak Kecamatan Tenjo. Bisindo melakukan partisipasi aktif, bekerja sama dengan penyuluh kecamatan untuk membantu memberikan masukan tata kelona pertanian di Tenjo. Sekilas, kegiatan ini sangat menguntungkan bagi petani yang tersebar di banyak desa Kecamatan Tenjo. Sesungguhnya, Bisindo pun mendapatkan keuntungan yang sama besarnya dari penyuluhan rutin ini.
Selain mengenalkan sekaligus mempromosikan benih-benih unggulan produksi Bisindo, kegiatan penyuluhan ini menjadi langkah riset gratis tanpa harus mendatangi petani satu per satu. Selama berlangsungnya acara, para petani dengan sukarela membagi permasalahannya selama mengelola tanahnya. Permasalahan ini menjadi catatan khusus bagi perusahaan untuk terpacu memproduksi benih unggulan sesuai kebutuhan mereka.
“La, minta tolong sampaikan ke Pak Doddy hari ini aku izin pulang lebih awal lagi, ya?” tanyaku kepada Syahnila. Dia tidak sedang sibuk karena ini awal bulan. Biasanya laporan keuangan menumpuk pada saat akhir bulan.
“Keperluan keluarga lagi ya, Teh?” Dia mendongakkan kepala dari ponsel yang tengah dipegangnya. “Tumben banget, Teteh sekarang suka izin pulang lebih awal. Nggak biasanya.”
Aku tersenyum menanggapi sindirannya. Apa yang Syahnila katakan benar adanya, beberapa minggu ini aku sedang dalam fase kebingungan membagi waktu antara rumah dan pekerjaan. Masalah Thomas belum sepenuhnya tuntas, aku harus segera membereskannya untuk membuatnya kembali sibuk dengan aktivitas selain sekolah. Thomas menolak sekolah setelah kejadian perkelahian itu.
Aku bingung menentukan kegiatan yang tepat untuk mengisi kesibukan Thomas. Kendati sesi pemeriksaan belum tuntas, Rasmi menyarankan beberapa terapi khusus untuk Thomas. Dari sesi pemeriksaan psikologi bersamanya kemarin, Rasmi melihat minat melukis Thomas yang cukup kuat. Dia menyarankan Thomas mengikuti kelas melukis untuk menyalurkan kesukaannya. Aku sepakat dengan Rasmi. Hari ini aku ingin mencari sanggar lukis yang tepat untuk Thomas.
“Iya, nih, La. Ada keperluan yang nggak bisa kutinggal. Tolong maklumi, ya? Aku sudah japri Pak Doddy dan Pak Kus juga, kok,” jawabku ringkas. Kuselesaikan mengemas tas, memastikan tidak ada yang tertinggal saat aku pulang. “Aku juga sudah bereskan semua pekerjaan di lapangan hari ini. Jadi, nggak perlu khawatir mereka bakal marahin kamu.”
“Pak Doddy sama Pak Kus juga ke mana ya, berdua? Seharian nggak kelihatan juga mereka. Dari tadi lihat Jabbar terus, bosen.”
Tepat saat Syahnila menyampaikan kegalauannya, tiba-tiba Jabbar berada di kantor operasional. Seketika Syahnila menjadi bulan-bulanannya, hingga keduanya seperti tidak menyadari jika aku pamit pergi. Aku menggeleng saja melihat tingkah mereka, memilih berjalan cepat ke tempat parkir di mana Panther berada.
Keuntungan pulang tidak pada jam kerja salah satunya terhindar dari macet. Pasar Leuwiliang yang biasanya macet parah setiap kali jam berangkat dan pulang kerja, kali ini kulewati dengan mulus. Aku sempat terjebak kemacetan parah di depan kampus, memang sudah waktunya jam pulang para mahasiswa. Kulirik berkali-kali jam di pergelangan tangan, memastikan masih ada cukup waktu sebelum sanggar lukis yang kutuju tutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...