Bab 23: Serangan

86 24 12
                                    

Kulemparkan ponsel asal ke kursi sebelah kemudi setelah mematikan tombol daya beberapa saat lalu. Aku tidak bisa berkonsentrasi memegang kemudi sementara bunyi ponsel terus saja meraung membuat kepala pengang. Panggilan suara hingga video yang Pita dan Pak Doddy lakukan terus saja berdatangan. Sementara bunyi pesan yang mereka kirim tidak juga berhenti mengeluarkan suara bising.

Beberapa saat lalu sebelum ponselku diserang panggilan dan pesan-pesan yang mereka kirimkan, aku berhasil melepaskan pegangan tangan Pita dari lenganku. Dia memohon kepadaku untuk mendengarkan penjelasannya. Aku beralasan tidak punya waktu mendengarkan ucapannya karena Thomas sedang menunggu makan malamnya. Pita melepasku dengan terpaksa.

“Kalau gitu angkat telepon gue nanti, ya?” mohon Pita. Tangannya yang tadi sempat kulepas dari lenganku kembali bersarang di tempat yang sama.

Aku memilih diam memandang ke arah jalanan. Tidak tahu harus memberi jawaban apa kepada Pita. Hatiku terluka karena mereka, tetapi tidak memiliki alasan yang kuat untuk marah dan membalasnya. Bagaimana aku bisa membalasnya jika yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran yang selama ini rapat kusembunyikan? Bagaimana juga aku bisa marah, sementara akulah yang patut disalahkan karena telah begitu bodoh mempercayai Pak Doddy?

“Jangan blokir nomor gue juga, ya, tolong? Gue bisa jelasin semuanya, kok,” pinta Pita lagi. Dia memandang ke arah wajahku lebih dekat.

Aku masih terdiam memilih tidak memberinya tanggapan. Saat kurasa tidak ada lagi yang akan dikatakan oleh Pita, kubuka pintu Panther segera. Kuletakkan kemasan saba ke kursi di sebelah kemudi lalu naik ke atas jok. Ketika pintu hendak kututup, Pita tiba-tiba menyeruak dan menahan tanganku.

“Janji ya, jangan blokir nomor gue?”

Kuarahkan pandanganku menembus ke dalam mata hitam milik Pita. Tidak kulihat apa pun selain kesungguhan seperti yang ditunjukkannya beberapa saat lalu. Hatiku mulai diliputi bimbang, apakah harus mendengarkan atau berlalu saja dari hadapannya. Kudesahkan napas panjang dan memilih memberinya kesempatan.

“Biar gue tanya sekali aja,” ucapku akhirnya. “Lo, puas sudah ngerjain gue? Lo, puas sudah bikin gue jadi bahan taruhan?”

“Day … “ Pita mengerang. “Gue berani sumpah ini nggak seperti yang lo pikirkan. Gue sama Dipa dan Doddy cuma bermaksud bantuin lo. Nggak ada maksud lain. Taruhan itu cuma main-main, beneran.”

“Lo,” geramku. “Puas ngerjain gue?” tanyaku sekali lagi.

“Day … “ Pita mengerang sekali lagi. “Jangan tanya kayak gini, tolong? Nggak ada gunanya. Lo, malah makin sakit nanti.”

“Lo, puas, Pita?”

Pita menahan napasnya, kemudian dia embuskan keras bersamaan dengan jawaban yang sudah dia tahan. “Puas. Gue puas banget. Gue nggak pernah nyesal sudah minta tolong sama Doddy buat bantuin, lo. Kalau waktu bisa diputar, gue akan mengulanginya berkali-kali.”

“Nggak perlu telepon gue lagi kalau begitu,” tegasku dingin. “Nggak perlu anggap gue sebagai sahabat juga.” Kusentak tangan Pita yang belum lepas dari menggenggam tanganku. Kudorong tubuhnya menjauh dari pintu Panther. Setelahnya kubanting pintu dan segera menyalakan mesinnya.

Kupasang sabuk pengaman lalu menjalankan kemudi dengan tergesa-gesa. Aku benar-benar tidak ingin lebih lama lagi melihat wajah mereka bertiga. Ketika Panther menjauh dari tempat parkir, terlihat dari kaca spion bayangan Dipa dan Pak Doddy yang berdiri di sebelah Pita menatap ke arahku penuh penyesalan. Jika mereka begitu lepas berbicara dan menertawakanku di belakang, untuk apa pula penyesalan yang mereka tunjukkan?

Seakan dijadikan taruhan saja tidak cukup, hidupku kembali menjadi bahan ejekan di tengah jalan. Internusa yang biasanya tidak pernah macet, entah kenapa hari ini tiba-tiba macet menyebabkan antrean kendaraan yang panjang. Dentingan piano merentak milik Maksim yang sengaja kusetel keras untuk menawarkan hatiku yang luluh lantak, justru tak terdengar digantikan oleh klakson angkot yang bersahutan. Membuatku kehilangan kesempatan untuk menangis menyalurkan amarah sehingga dadaku terasa penuh dengan emosi yang menyesakkan.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang