Aku tidak berhenti bertanya setiap kali mengantar Papah menjalani kontrol bulanan ke rumah sakit. Kenapa dia harus menderita jantung bengkak padahal tidak ada gejala yang menunjukkan jantung Papah bermasalah. Seingatku ketika itu Papah hanya mengeluhkan batuk kering yang tidak kunjung sembuh. Setelah menjalani pemeriksaaan dan beberapa tes panjang, Papah dinyatakan mengalami pembengkakan di jantungnya. Bagaimana bisa?
Saat ini pun aku masih tak henti bertanya, bagaimana bisa Papah mengalami serangan padahal dia tidak sedang mengeluhkan kondisi tubuhnya selama seminggu belakangan. Aku belum sempat bertanya mengenai hal ini kepada dokter, setelah semalam dilanda panik menunggui masa kritis Papah terlewati. Tambahan lagi aku memiliki akses terbatas menjenguk Papah di dalam ICU, kesempatanku bertemu dokter pun tidak banyak.
Tepat pukul 23.00 Papah dipindahkan ke ICU. Selama menunggui di depan ICU, aku dan Thomas lebih banyak diam. Mungkin tanpa kami sadari, aku dan Thomas sedang melambungkan doa menuju langit yang sama, kepada Sang Pemilik nyawa, berharap Dia memberikan sedikit saja kebaikannya untuk Papah.
Baru subuh tadi aku bernapas lega saat dokter mengatakan masa kritis Papah sudah lewat, tetapi membutuhkan observasi lebih lanjut. Thomas yang kurang tidur setelah bergadang semalam kuminta pulang. Dia menolak awalnya, tetapi aku memaksa. Sepeninggalnya, aku nyaris sendirian duduk di depan kursi tunggu ICU memendam kekhawatiran.
Aku sendirian bukan hanya karena Thomas tidak lagi ada di sebelahku. Namun, aku benar-benar duduk sendirian di kursi tunggu pasien ICU tanpa teman kecuali satu laki-laki paruh baya di ujung sana. Dia terlelap dengan posisi setengah duduk, sementara tangannya terlipat di depan dada. Selainnya dia, semua penunggu pasien yang lain memilih merebahkan dirinya di ruang istirahat yang disediakan khusus untuk penunggu pasien ICU.
Kuperkirakan ruang istirahat penunggu pasien ICU mampu menampung hingga enam ranjang pasien, cukup luas untuk diisi beberapa keluarga pasien yang mulai kelelahan berjaga. Aku ingin bergabung dengan mereka, lelap dalam selimut di tengah-tengah kalut. Namun, keinginan bertemu Papah pada jam jenguk pertama membuatku menahan diri dari keinginan memejamkan mata.
Ketika jam digital di atas pintu ICU menunjukkan pukul 06.00, aku berjalan cepat ke depan pintu. Dengan lebih dulu membaca banyak doa yang kubisa, pegangan pintu kutarik pelan. Begitu masuk ke dalamnya, aku disambut sebuah rak di mana sepatu pengunjung diletakkan. Kuletakkan sepatuku di sana terburu-buru. Satu pintu geser harus kulewati lagi untuk sampai di ruangan pasien bertemu dengan Papah.
Kutarik pintu geser ke arah kanan pelan. Saat pintu terbuka, pandanganku seketika bertemu dengan ranjang-ranjang pasien dalam posisi sejajar di sebelah kiri. Bagian kanan ruangan berisi meja dan konter panjang milik petugas jaga. Kupindai semua ranjang dan menemukan Papah berada di ujung ruangan dekat dengan pintu yang entah menuju ke mana.
Seorang petugas berada di sisi kanan Papah sedang menyuntikkan sesuatu ke arah pergelangan tangannya. Aku menghampirinya dan berujar pelan, “Bagaimana kondisi Papah saya?”
Petugas jaga itu menghentikan sementara kegiatannya menyuntikkan sesuatu ke dalam selang infus Papah. Dia melihat ke arahku sebentar lalu melanjutkan kembali tugasnya. “Masih sama seperti yang dokter bilang semalam, Ibu. Masa kritis Bapak sudah lewat, tapi masih ada tindakan observasi lanjutan. Kita lihat beberapa jam lagi ke depan, ya?” urainya pelan.
Petugas medis di depanku ini bergerak cekatan membenahi beberapa sampah medis yang ada di atas ranjang. Bekas suntikan dan ampul yang isinya telah masuk ke dalam tubuh Papah, dia masukkan ke dalam kotak yang telah tersedia di sebelahnya. Setelahnya dia berpamitan ketika tugasnya selesai ditunaikan.
Aku berdiri di sebelah kiri Papah, masih tidak mampu menghilangkan rasa tercengang melihatnya terbaring lemah di ranjang. Tidak tersisa sedikit pun kegagahan seperti yang selama ini selalu diperlihatkannya kendati usianya telah menua. Hanya ada keriput dan kerut di sekujur tubuhnya, membuat Papah terlihat semakin lemah tak berdaya. Aku terduduk lemas di sebelahnya, di atas kursi lipat tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomanceSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...