Bab 6: Sosok Mamah

102 23 21
                                    

Inti dari pemuliaan tanamaan adalah menciptakan varietas yang memiliki karakter unggul. Varietas jagung unggul bukan saja tentang produktivitasnya yang lebih banyak dengan waktu panen yang lebih singkat. Melainkan tentang ketahanannya terhadap hama dan penyakit yang berkali-kali lipat lebih baik. Untuk mencapai titik ini, jagung harus merasakan berbagai macam perlakuan yang bisa dibilang rumit dan mengancam kelangsungan hidupnya.

Tidak hanya menjalani kawin-silang berulang-ulang sampai bertemu genetik ketahanan yang diwariskan dari induk kepada keturunannya, tetapi jagung juga harus digempur hama dan penyakit bertubi-tubi dalam sebuah kebun percobaan. Saat digempur hama dan penyakit itu pilihannya hanya satu: bertahan hidup atau mati.

Kalau aku yang melalui proses itu, tidak akan mampu memilih keduanya. Ketika dihantam masalah bertubi-tubi, aku terlalu penakut untuk mati menghabisi diri sendiri. Juga terlalu pengecut untuk menjadi kuat dan bertahan hidup seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bukannya tidak mencoba, hanya saja hidup seringkali tidak adil. Menimpakan begitu banyak ujian pada satu orang sementara memberikan kebahagiaan untuk yang lain. Ini juga terjadi pada Mamah dan berdampak pada hidupku yang tidak lagi mudah.

Ketika itu hari masih sangat cerah. Berada di pengujung sore dengan semburat jingga yang menyala benderang selepas hujan. Seharusnya Mamah tersenyum senang seperti biasanya saat mendapati Papah pulang setelah satu bulan. Apa yang kudapati justru sebaliknya. Mamah sesenggukan tertahan dengan wajah ditekuk di atas ranjang. Sementara Papah justru kembali pergi tanpa perasaan. Persis siswa laki-laki berengsek di sekolah yang suka mengolok-olok namaku kurang kerjaan.

Sejak itu tiada kedamaian di rumah. Setidaknya begitu yang kurasakan. Mamah bisa saja bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, aku tahu bagaimana keduanya selalu bertengkar tengah malam setiap kali Papah di rumah. Ada kalanya aku hanya mendengar adu argumen saling menimpakan kesalahan. Tidak jarang aku dikagetkan dengan suara benda dari bahan kaca diremuk paksa bersama adu mulut yang meninggalkan lara. Mamah boleh saja menyembunyikannya sedemikian rupa, tetapi aku tahu pertengkaran mereka perihal wanita lain simpanan Papah. Jika aku hanya merasa kehilangan kedamaian, Mamah mungkin saja telah merasakan neraka dalam kehidupan pernikahannya.

Dengan kondisi sehancur itu, aku bersyukur Mamah tetap menjaga kewarasannya. Dia tetap menjadi sandaran kedua anaknya dengan senyum selalu terkembang seolah rumah tangganya dipenuhi romantisme bahagia. Aku tidak tahu sebab apa. Apakah doa yang berkepanjangan pada sepertiga malam atau pekerjaannya yang menyita waktu dan pikiran? Sekali aku mencoba memancingnya dengan bertanya penuh kehati-hatian.

“Mah, pernah kesal sama seseorang, nggak?”
Mamah menoleh dan menghentikan kegiatannya menyiram tanaman saat itu. “Kenapa nanya begitu? Ada  yang bikin kamu kesal?”

“Banyak.”

Mamah tertawa. Tangannya menghampiri kepalaku lalu mengacaknya gemas. “Masih kecil jangan banyak kesal. Nanti cepat tua. Mau?”

“Jawab aja, sih, Mah. Pernah nggak, Mamah kesal sama seseorang.”

“Ya, pernah atuh. Namanya orang hidup ada kalanya kesal sama seseorang. Sama anak sendiri juga pernah, Day.”

Aku menyengir. “Terus kalau kesal, Mamah ngapain? Marah-marah?”

“Tiap orang punya cara yang berbeda untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Jangan dipukul rata. Cara mamah bisa jadi berbeda dengan orang lain.”

“Cara Mamah gimana?” tanyaku penasaran. “Gimana, Mah?”

“Kerja, kerja, dan doa.” Mamah nyalakan kembali kran air dan melanjutkan aktivitas menyiram tanaman. “Sama merawat tanaman-tanaman ini.”

Penjelasan Mamah membuatku terbengong saat itu. Sangat sulit memahami jalan pikiran orang dewasa. “Apa hubungan tanaman dengan menghilangkan kesal?”

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang