Bab 33: Ave Kurang Kerjaan

126 17 14
                                    

Aku tidak tahu apakah Ave telah menjelma menjadi sosok yang kata dan kalimat-kalimat yang diucapkannya banyak benarnya, atau memang waktu yang memiliki penyembuh ampuh untuk menuntaskan segala luka. Namun, hampir satu tahun berada di tempat kerja baru, aku merasa kata-kata Ave dalam sesi khutbah panjang dulu itu mulai terbukti. Aku belum sepenuhnya menjadi pribadi yang baru, tetapi aku bisa bilang kalau aku bukan lagi sosok Dayana yang dahulu.

Aku tidak lantas menjadi sosok menginspirasi dengan tingkat kepercayaan diri tinggi seperti Lady Diana, tidak. Tak semudah itu membangun kepercayaan diri ketika namaku selalu mengingatkan banyak orang kepada sosok fenomenal seperti Lady Diana. Tak gampang juga mengenyahkan rasa rendah diri saat cerita keluargaku menjadi bagian dari diriku yang tak bisa ditimpa oleh cerita keluarga bahagia lainnya. Namun, perlahan aku mulai menyadari kalau rasa rendah diri itu terus kupelihara akan buruk hasilnya.

Bukan saja aku tidak merasa bahagia, melainkan aku bisa jadi orang yang terus merasa paling sengsara. Aku akan terus meratapi nasib dibandingkan bersyukur dengan nikmat sekecil apa pun yang diberikan Allah SWT. Aku akan terus merasa semua orang tidak tulus padahal ada banyak orang yang ingin berteman tanpa pamrih. Jika itu terjadi, aku tidak tahu bagaimana kondisi hati dan mentalku. Mungkin saja Ave benar, aku akan menjadi gila. Gila sepenuhnya berada di bawah kendali dokter ahli jiwa.

Jika awalnya aku merasa terpaksa datang ke tempat Ave, sekarang tidak lagi. Aku merasa sangat bersyukur sudah mengalami kejadian di Eiji dan dipaksa datang ke tempat Ave. Andai saja kejadian di restoran Jepang dulu itu tidak pernah terjadi, aku akan menjadi sosok Dayana yang sama, tidak dapat sembuh dari rasa rendah dirinya. Kendati sekarang pun aku tak bisa menyebut diriku sembuh sepenuhnya, aku tetap merasa bahwa aku tidak lagi sama. Aku hanya ingin bilang aku berbeda, tak lagi sama, aku lebih bahagia.

Untuk itu aku tidak henti bersyukur dalam setiap desahan napasku. Resminya aku bersyukur dalam setiap lima waktu salatku. Tidak resminya, aku bersyukur dengan tidak berhenti tertawa atas hal-hal kecil yang Allah berikan setiap harinya. Bukankah tersenyum juga bentuk dari ibadah? Aku bersyukur dengan banyak tertawa, dalam artian postif tentunya. Bukan tertawa tanpa sebab yang membuatku harus masuk rumah sakit jiwa. Selayaknya hari ini misalnya, ketika Mbak Fiyah, Mbak Mila, dan pekerja lainnya yang menggodaku dengan salah satu dokter hewan baru yang menggantikan drh. Nazla selama masa cuti kehamilannya.

“Ada dokter baru, Mbak Daya kenal ndak?” tanya Mbak Fiyah dengan mengedipkan mata. Dia menyikut lengan Mbak Mila yang berada di sebelahnya dan sedang sibuk memindahkan bibit bunga matahari ke tanah.

“Nggak kenal. Kenapa?” tanyaku pura-pura tak melihat kedipan mata Mbak Fiyah.

“Bener ndak kenal? Mosok, sih? Biasanya setiap orang baru selalu dikenalkan lebih dulu sama Mas Ave. Mosok Mbak Daya ndak kenal?” tanya Mbak Fiyah lagi. “Ndak kenal apa pura-pura ndak kenal?”

Aku pura-pura tidak mendengar dengan mengangkat baki-baki semai ke dekat mereka. Acara perjodohan begini sudah terlalu sering kualami di kandang Ave ini. Jika dulu sewaktu Pita melakukannya aku memilih tak suka dan marah, kali ini kuanggap angin lalu saja. Itu lebih baik daripada marah. Menurutku lebih sehat juga untuk jiwa.

“Kenapa, sih? Kate titip salam ta ?” tembakku langsung. Biasanya mereka selalu asyik bergunjing ria ketika melihat pegawai baru yang memiliki wajah rupawan, jasa titip salam pun banyak beredar.

Serempak Mbak Fiyah dan teman-temannya terbahak. Mereka bahkan bersiul seperti halnya para pekerja laki-laki. “Kok aku, sih. Aku wes payu, sudah laku. Buat Mbak Daya, dong. Ganteng sama cantik, pas banget, Mbak.” Mbak Fiyah terkekeh setelahnya.

Aku pun melakukan hal yang sama. Aku tertawa kecil melihat Mbak Fiyah salah tingkah. Tentu saja sangat tidak mungkin dokter muda itu bersanding denganku. Bukannya aku merasa rendah diri karena dia terlihat rupawan seperti yang Mbak Fiyah bicarakan.  Aku pun tak kalah cantik jika ingin beradu soal tampang. Hanya saja, dokter muda itu bukan hanya memiliki panggilan dokter muda, melainkan usianya memang benar-benar muda.

Berpengaruh Tidak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang