Apa yang kutakutkan selama pendampingan memang tidak kejadian. Dari awal sampai akhir, pendampingan berjalan lancar dan tidak ada masalah berarti yang membuatku merasa malu lalu tiba-tiba ingin menghilang. Walau hati sempat diremas cemas saat aku memperkenalkan nama, tetapi para mahasiswa ini sangat mengenal etika. Mereka tidak bertanya nama lengkapku siapa, hanya bertanya seperlunya, dan juga tidak membuat lelucon-lelucon tidak berguna untuk menarik perhatian.
Sedemikian saja, aku dibuat tegang selama pendampingan yang berjalan satu jam. Setiap kali satu pertanyaan kusudahi dengan jawaban yang mereka butuhkan, setiap kali itu pula aku berdoa. Semoga saja tidak ada lagi pertanyaan berikutnya. Sebab semakin banyak mereka bertanya, seperti ada sinyal yang memberitahu bahwa ilmuku akan segera habis persediaannya.
Begitu pendampingan selesai, hatiku dipenuhi kelegaan. Tanpa diminta, tanganku yang sejak tadi terasa dingin karena banjir keringat tiba-tiba saja terasa lebih hangat. Langkahku pun menjadi lebih ringan menuju kantor untuk menunggu waktu zuhur.
Menuju kantor? Oh, tidak. Rasanya memilih menunggu zuhur di kantor adalah keputusan yang sangat salah. Di sana pasti menunggu Pak Doddy dan Pak Kus yang entah tengah mengerjakan apa di depan komputernya. Jika sampai bertemu keduanya, mereka pasti bersepakat menyeretku menuju saung, makan siang bersama para mahasiswa. Bertemu mahasiwa itu lagi dan rekan-rekan pekerja lainnya? Itu menyiksa.
Kuputuskan untuk membelokkan langkah menuju musala, berteduh melepaskan lelah di sana. Masih ada waktu kira-kira satu jam sampai waktu zuhur tiba. Makan siang urusan gampang. Aku bisa makan siang di mana saja karena selalu membawa bekal dari rumah. Sayangnya semua rencanaku harus kandas dengan suara Pak Kus yang berseru dari kejauhan.
“Putri, oi! Rek kamana euy?*”
Kupercepat langkah berpura-pura tidak mendengar teriakan Pak Kus. Tidak berniat juga untuk menoleh ke belakang atau semua yang kurencanakan gagal total. Melihat gelagatnya, Pak Kus pasti akan memaksaku untuk ikut makan di saung. Selama ini dia tidak akan berhenti memaksa sebelum aku mengiakan permintaannya.
“Day, mau ke mana? Nggak ikut makan ke saung?” teriak Pak Kus untuk kedua kalinya.
Akhirnya aku memilih berhenti walau terpaksa. Kubalik badan ke belakang ke arah Pak Kus. Dia berjalan tenang diikuti oleh dua orang lain di sebelahnya. Tangan kiri Pak Kus tengah menggandeng mesra Teh Elin, istrinya yang memandangku tidak suka. Sementara di belakangnya menyusul sosok Pak Doddy yang juga terlihat dikuasai amarah karena kutinggalkan dia begitu saja setelah tadi pagi sempat membuat petaka. Aku mengerang menyalahkan putaran nasib yang sama sekali tidak berpihak hari ini.
“Mau kabur lagi, Day?” tanya Pak Doddy setelah sampai di depanku.
Pak Kus terkekeh begitu mendengar kalimat tuduhan Pak Doddy. “Makan dulu sebelum kabur, Day. Hari ini menunya spesial. Dibuat langsung oleh istri tercinta,” kelakar Pak Kus dengan mengusap-usap bahu istri yang cemberut di sebelahnya.
“Rencananya sehabis salat zuhur, saya mau ke sana, Pak. Ini mau ke musala dulu. Sebentar lagi juga sudah azan ‘kan?” kelitku sembari melihat jam di pergelangan tangan. “Teh Elin, damang, Teh?” Kubuat suara seramah mungkin untuk menyapa istri Pak Kus.
Sayangnya usahaku bersikap ramah seperti tidak mendapat balas yang sama saat Teh Elin justru menjawab singkat dengan nada ketus yang kentara. “Sae,” sahutnya singkat. Dia meraih lengan suaminya, membuat gestur manja. “Buru atuh, ka saung. Diantos ku mahasiswa.*” Sementara wajahnya tidak ada manis-manisnya saat memandangku.
Aku jadi ciut nyali ketika mata kami saling bertemu. Tidak tahu kenapa, Teh Elin selalu bersikap begitu setiap kali kami berjumpa. Wajahnya yang berlesung pipi selalu menujukkan rasa tidak suka. Jika ini tentang Pak Kus yang suka mengumbar rayuannya, dia tidak harus merasa terganggu seharusnya. Wajahnya lebih dari sempurna untuk membuat Pak Kus tidak berani mendua. Dibanding merasa takaman denganku, seharusnya dia lebih terganggu dengan kehadiran Syahnila. Bukankah rayuan Pak Kus lebih banyak ditujukan kepada Syahnila?
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpengaruh Tidak Nyata
RomantikSeperti paket nasi di restoran cepat saji, kehidupan seorang Lady Dayana komplet. Selain namanya yang selalu mengundang olok-olokan, kondisi keluarganya juga berantakan. Membuatnya menjadi sosok yang merasa tidak berharga, minder, curiga dan tidak m...