Ckiiit...
Motor tua itu berhenti tepat di depan gerbang masuk rumah sakit. Jihan turun dari motor sambil melepaskan helmnya lalu menyerahkannya kepada Kak Kamal."Kakak serius nggak masuk dulu?"
"Nggak usah. Nanti Aku telat kerja. Aku mampir sekalian jemput nanti sore. Nggak apa kan kamu sendiri yang jaga?"
Jihan hanya mengangguk sambil membenarkan tali tasnya. Setelah itu dengan cepat Kak Kamal pergi dari hadapan Jihan. Kini Jihan harus bergegas masuk kedalam. Khawatir Uwa Uti akan menunggunya dan juga saat ini tak ada yang menemaninya. Rumah sakit sedang sepi dan juga ini hari sabtu, hanya pelayanan tertentu saja yang buka.
Setelah melewati banyak ruang, akhirnya ia menemukan kamar 213. Ketika ia masuk, Uwa Uti sedang berada di kamar mandi. Jihan memelankan pergerakannya agar tak membuat Uwa Uti terburu-buru di kamar mandi. Ia meletakkan tasnya di sebuah kursi sambil melihat pemandangan di luar jendela. Jadi ingat dulu, rasanya sangat bosan. Diluar terlihat ramai. Sedangkan disini...
"Oh... Jihan! Kapan datangnya?" sahut Uwa Uti yang baru keluar dari kamar mandi.
Dengan sigap, Jihan membantu Uwa Uti berjalan dengan memegangi kantung infusnya. "Baru saja kok," ujarnya.
Setelah memastikan Uwa Uti sudah nyaman di ranjangnya, Jihan mengeluarkan barang yang dititipkan oleh ibunya untuk Uwa Uti dan juga beberapa buku. Setelah merapikan barang-barang tersebut, ia pun duduk di kursi samping ranjang Uwa Uti.
"Katanya Dara ada persami ya jadi nggak bisa ikut nemenin. Bunda gimana?" tanya Uwa Uti.
"Ada pesanan, kemungkinan sampai sore. Tapi Jihan udah bilang biar hari ini Jihan yang jaga jadi Bunda nggak perlu buru-buru," jawab Jihan sambil beberapa kali mengintip ponselnya.
"Kamu pasti bosan kalau seharian disini. Tapi kamu juga malaskan kalau di rumah karena disuruh-suruh."
Tawa Jihan pecah karena niatnya ketahuan. Itulah kenapa ia ke rumah sakit dengan membawa buku pelajaran. Jika dirumah ia pasti tak bisa fokus juga karena jadi pembantu dadakan dan mencium aroma kue.
"Kamu mau belajar apa? Katanya bentar lagi ada Try Out ya?"
"Ya, senin nanti sampai kamis. Jihan mau coba belajar semua soal yang masih belum paham," jawab Jihan sambil menunjukkan buku soal tebal yang dibelikan Uwa Uti sebagai hadiah.
Beliau tersenyum sambil mengusap kepala Jihan. "Bahkan di hari libur pun kamu semangat belajar. Tapi maaf ya sepertinya nggak bisa banyak membantu. Setelah masuk rumah sakit bulan lalu, hingga keluar dan masuk lagi minggu ini, Uwa belum bisa banyak membantumu belajar."
Niat Jihan yang sebenarnya juga ingin diajari oleh Uwa Uti walaupun sebentar saja perlahan pupus. Tapi sebenarnya rasanya juga tak sopan meminta tolong kepada orang yang bahkan saat ini sedang sakit. Mau bagaimana lagi, Uwa Uti adalah tempatnya bergantung.
"Ya nggak apa-apa. Dibolehin belajar disini saja sudah cukup," jawabnya menghibur diri.
Ketika Jihan mulai mengerjakan soal, Uwa Uti membuka sebuah bungkus biskuit. Ia menyodorkan biskuit itu pada Jihan. Namun Jihan menolaknya.
"Makan aja. Uwa juga nggak bisa makan kok. Belajarnya habis makan aja," ujarnya.
Buku tersebut diletakkan di atas rak. Lalu ia mengambil beberapa potong biskuit dan melahapnya. Saat itu Uwa Uti melihatnya lagi sambil mengusap kepalanya.
"Kamu ini... benar-benar mirip Ayahmu loh!"
Mata Jihan beralih pada pemandangan diluar jendela. Entah sudah berapa kali ia mendengar kata-kata itu dari mulut Uwa Uti selama hidupnya. Katanya, wajahku ini lebih mirip ke ayah dari bunda. Tapi selain itu, entah kemiripan apa yang dimaksud wanita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Memories [End]
أدب المراهقين[Cerita ini cocok buatmu yang kangen SMA dan kekonyolan anak menuju dewasa] They said 'school is suck'. Well, itu salah. Kenyataannya, Sekolah adalah hal yang paling menyenangkan dan tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Begitulah menurut Jih...