Di parkiran, perlahan Luna merenggangkan badannya sembari menunggu Jihan yang tak kunjung datang. Lalu, matanya dengan tajam melihat Jihan berjalan dengan cepat keluar melalui gerbang sekolah. Dengan cepat, Luna menyalakan mesin motornya dan menghampiri Jihan.
"Heeiii! Bukannya tadi Aku udah bilang Aku tunggu di perkiran?" tanya Luna yang berhasil mengejar Jihan yang berjalan di trotoar, "Eh..."
Pipi Jihan basah dengan air mata dan tangannya berusaha untuk menghapus tetesan-tetesan itu. Wajahnya berusaha untuk tetap terlihat tenang dan baik-baik saja. Tetapi ketika bertatapan dengan Luna, perlahan air matanya kembali menetes.
Luna memegang pundak Jihan. "Ayo pulang," ucapnya.
Tak seperti biasanya, di perjalanan pulang keduanya sama-sama terdiam. Bahkan papan reklame digital yang selalu menjadi perhatian mereka dengan promo menariknya dilalui begitu saja hingga mereka sampai di komplek rumah Jihan.
"Aku turun disini."
Luna terbingung dan meminggirkan motornya. "Rumahmu masih di depan sana."
Namun, Jihan tetap turun dari motor Luna dan berjalan menghiraukannya. Baru beberapa langkah, Jihan berhenti dan membalikkan badannya dengan wajah tertunduk, "kamu tahukan... rahasia diantara kita?"
"Rahasia... apa?"
Jihan mengangkat wajahnya, "Rahasia yang biasa kita bicarakan."
"Aku kurang paham. Maksudnya apa?"
"Gimana dengan rahasia yang nggak Aku ketahui? Aku tahu kamu pasti lebih paham kan?"
Itu wajah terbodoh yang pernah Jihan lihat dari seorang Luna. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat sambil menahan tangis melihat wajah anak itu.
"Luna... Aku benci melihat wajahmu saat ini. Kamu sama seperti mereka. Berbicara dibelakangku. Tapi bedanya, kamu membuatku seperti orang bodoh. Kamu tahu yang kubencikan... sial, semuanya munafik."
"Jihan...," panggilnya dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis, "Aku nggak ada niat jahat ke kamu. Aku tau keadaan emosimu nggak stabil. Tapi... ucapanmu tadi ucapan terkejam yang pernah kudengar. Padahal... kamu masih nggak tahu kenyataannya..."
"Jelas Aku nggak tahu! Karena kamu mengalihkan pertanyaanku dan nggak memberitahuku lebih awal padahal kamu tahu Aku akan sakit hati seperti ini!" geram Jihan dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.
Merasa tertekan dan berpikir akan semakin buruk, Luna memutuskan untuk pergi meninggalkan Jihan begitu saja. Perilaku Luna membuat Jihan merasa hancur. Ia berjalan pulang ke rumahnya dengan air mata yang tidak ada habisnya. Hatinya benar-benar sakit.
Kedua kalinya, Aku benar-benar ditipu. Kali ini lebih pintar. Sial! Disaat tersakiti seperti ini, Aku ingin bertemu Ayah. Satu-satunya orang yang memahamiku. Apakah nggak ada yang benar-benar paham padaku? Ayah, Aku capek. Siapa yang mau mendengarku sepertimu?
Tangisan Jihan mengalir semakin deras ketika Ia sampai didepan rumah. Pikirannya berharap Ayahnya akan datang memeluknya dan menenangkannya seperti saat dirinya masih kanak-kanak.
"Jihan, ada masalah apa?"
Ia menurunkan kedua telapak tangannya yang menutupi wajahnya. Ketika melihat seseorang yang berjalan menghampirinya, Ia menangis semakin kencang lalu berlari untuk memeluknya.
"Wa Uti..."
~~~
Wanita tua itu masuk ke kamar Jihan dengan sekotak susu di tangannya. Ia menancapkan sedotan pada susu tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Memories [End]
Ficção Adolescente[Cerita ini cocok buatmu yang kangen SMA dan kekonyolan anak menuju dewasa] They said 'school is suck'. Well, itu salah. Kenyataannya, Sekolah adalah hal yang paling menyenangkan dan tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Begitulah menurut Jih...