Sejak lusa lalu setelah siang itu, Jihan merasa sengsara. Mudah untuk mengatakan, sulit untuk dilakukan. Ia merasa bingung dengan keputusannya. Jihan juga belum bercerita kepada Luna soal keputusannya karena bahkan hingga hari ini saja Jihan masih terus memikirkan.
Tiba-tiba Helwa menghampiri Jihan, "Han ini uang sisa kemaren."
Jihan melihat amplop itu dengan bingung lalu bertanya, "Kok ada sama kamu?"
"Iya. Fikri nitip sama Aku."
"Ciee ciee... minggu lalu bilangnya 'meles eke seme die'. Sekarang mau aja disuruh sama ayangnya," goda Nuha sambil asyik sarapan.
"Aw aw! Ada aja alasannya buat ketemuan di sekolah," timpal Bella.
"Berisik kalian!" kesal Helwa yang berusaha menahan malu.
Vera yang disamping Jihan menenangkan teman-temannya, "hei-hei! Diam nanti ketahuan. Setengah mati comblangin mereka buat jadian."
Jihan melihat Helwa, "Eh.. udah jadian?"
"Jihan belum tahu nih! Padahal lagi hot topic banget di angkatan," ujar Alin.
"Oh-ah... Se-sejak kapan?"
"Lusa kemaren. Pas pulangan. Pas makan," jawab Helwa singkat dengan wajah yang memerah.
Jihan terkejut, "Heh cepat banget!"
"Mana ada cepat. Susah nih Helwa diajakin buat ngobrol berdua malah ngajakin Aku. Untung belum berubah jadi nyamuk," ujar Bella.
Tiba-tiba Nuha tertawa, "Keinget Vera astaga. Udah dikodein Reza, masih asyik makan. Keburu si Helwa sadar. Aku masih kesal nih hahaha..."
Arra ikut tertawa, "Parah sih kemaren. Untungnya ini anak pintar ngomong dan banyak alasan, Reza juga pintar ngatur situasi. Besok-besok kalau ada yang mau jadian, jangan ada Vera. Bikin chaos!"
Jihan dan yang lain tertawa. Namun dibalik tawa itu, Jihan terus terpikir kata-kata Arra.
Jadi Reza ngebantuin Fikri sama Helwa? Wah... hebat juga dia.
Tiba-tiba Bu Tia masuk ditengah waktu istirahat dan membuat mereka terkejut. Suasana kelas menjadi diam membeku. Semua mulut tertutup rapat tanpa terkecuali.
"Perasaan dari koridor ribut banget, pas Saya masuk kok langsung sunyi," kata Bu Tia sambil memandangi mereka satu per satu, "Jihan, ke ruangan saya sekarang ya."
Setelah Bu Tia pergi, suasana kelas kembali riuh. Mereka menduga bahwa Bu Tia mungkin mendengar pembicaraan mereka dan meminta penjelasan dari Jihan. Kini ia mulai ikut panik dan segera pergi ke ruangan Bu Tia.
Sesampainya disana, Jihan terdiam kaku di depan Bu Tia yang sibuk mencari sesuatu.
"Jihan!"
"I-iya bu?"
"Kenapa gugup gitu? Hahaha Sekolah mau mengikutkan kamu lomba matematika. Di isi formnya ya! Mungkin besok atau lusa saya kasih latihan soalnya," ucap Bu Tia. "Ada yang mau ditanya?"
"Oh... nggak ada bu. Besok Saya serahkan kertasnya. Saya permisi bu!" jawab Jihan lalu pergi ke kelasnya.
Ia membaca kertas pendaftaran lomba tersebut. Ini adalah lomba akademik pertamanya sejak masuk SMA. Kompetisi sesungguhnya untukku. Ini kesempatan emas yang datang lagi setelah sekian lama!
~~~
Jihan tidak tahu tipikal soal seperti apa yang akan keluar. Selama ini ia hanya mengerjakan soal dari materi yang telah dipelajari namun dengan tingkatan lebih sulit serta materi kelas 10 yang belum dipelajari. Siang itu, ia mendapat pelatihan khusus dari Bu Tia di perpus. Sesampainya disana, ia menemukan Bu Tia sedang berbicara dengan Izzan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Memories [End]
Roman pour Adolescents[Cerita ini cocok buatmu yang kangen SMA dan kekonyolan anak menuju dewasa] They said 'school is suck'. Well, itu salah. Kenyataannya, Sekolah adalah hal yang paling menyenangkan dan tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Begitulah menurut Jih...